Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Cendekiawan Pascakolonial

Harry Wibowo

Ketika dalam kumpulan Catatan Penjara-nya (Quaderni del carcere, 1929-1935) Antonio Gramsci menulis tentang intelektual (cendekiawan), dia menganggap intelektual sebagai individu terdidik dan secara organik berpengaruh terhadap formasi historis masyarakat atau kelompok sosial atau publik tertentu. Pengaruhnya dapat berwatak hegemonik atau sebaliknya berjuang untuk meraih hegemoni baru.

Siapa pun bisa menjadi seorang intelektual, tetapi Gramsci membedakan antara intelektual “tradisional” dan “organik.” Berkebalikan dengan kaum intelektual tradisional, yang menganggap diri sebagai kelas yang terpisah dari masyarakat lainnya seperti begawan atau resi, intelektual organik merupakan anggota kelas sosial yang selalu terlibat jauh dalam problem masyarakatnya: berniat mengubah status quo serta bertarung demi kesetaraan dan keadilan.

Pemilahan antara intelektual tradisional dan organik penting untuk memahami perbedaan antara peran intelektual publik dalam posisi profesionalnya seperti yang kita kenal sehari-hari: ulama, guru, bahkan technical intellegentia (cerdik cendikia), seperti peneliti, administrator ataupun manager. Fungsi “organik”-nya muncul karena mereka lebih menggunakan posisinya untuk mengatur kepentingan tertentu, mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan kontrol. Mereka menetap di bidang keahlian spesifik, melakukan jenis pekerjaan yang sama dari tahun ke tahun. Itu berbeda dengan intelektual organik yang selalu bergerak, in the making process.

Jika kita tempatkan definisi atau tipologi intelektual organik seperti itu, menjadi pertanyaan menarik di mana posisi para pendiri Republik ini sebagai sosok cendekiawan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Amir Syarifuddin, untuk menyebut beberapa contoh, dan kemudian Soedjatmoko bahkan Abdurrahman Wahid di awal abad ke-21? Lepas dari posisi resminya secara kenegaraan ataupun di luar negara, mereka adalah contoh paripurna sosok intelektual organik: menentang kolonialisme, terlibat penuh dalam perjuangan kemerdekaan; berupaya menyatukan bangsa terjajah dan tertindas untuk membangun negeri menjadi negara berkeadilan sosial bagi segenap rakyatnya. Mereka bukan hanya corong bagi kelompok yang terpinggirkan, “penyambung lidah rakyat” seperti klaim Bung Karno, juga mereka mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari rakyat terjajah dan tertindas.

Di antara yang disebut di atas, sosok Soedjatmoko sebagai cendekiawan menempati posisi unik. Dia dibesarkan pada masa sebelum kemerdekaan, mengalami perjuangan revolusi dan terlibat dalam upaya diplomatik internasional untuk mempertahankan republik yang masih belia. Menjalani kerja sebagai jurnalis, penulis, bahkan berpolemik dengan sastrawan terkemuka dari seberang “ideologi” partainya pada dekade 1950-an; sebuah masa paling demokratis dalam sejarah Republik ini.

Berbagai kajian terhadap pemikiran dan kiprahnya, sebagaimana tecermin dalam Prisma edisi ini, Soedjatmoko kerap dibingkai sebagai sosok begawan, dengan horizon pemikiran yang menyeluruh, holistik, seolah-olah berada di atas awan, namun berwawasan jauh ke depan. Penjelajahan pemikirannya tak pernah terpaku dalam satu displin ilmu atau keahlian tertentu. Pendekatan dan corak berpikirnya multi bahkan transdisiplin. Dia lebih sebagai filsuf atau budayawan ketimbang ilmuwan; apalagi seorang teknokrat seperti beberapa sahabat terdekat dan “murid-murid”-nya. Dia juga bukan seorang teoretikus akademik, meski dalam disiplin sejarah, dia mampu merangsang bagaimana historiografi Indonesia harus dioperasikan.

Lintasan kiprahnya di fora internasional membawanya ke puncak pengakuan internasional sebagai Rektor Universitas PBB (1980-1987), sebuah lembaga kajian dan pendidikan bagi soal-soal hubungan internasional, pembangunan, dan kesejahteraan manusia. Soedjatmoko wafat 21 Desember 1989, saat berceramah di Kantor Sekretaris Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), Yogyakarta, sekitar satu bulan lebih tatkala Tembok Berlin diruntuhkan, penanda berakhirnya Perang Dingin. Kepergiannya seolah menutup suatu masa, sebuah abad berakhirnya kolonialisme dan bangkitnya gerakan pembebasan nasional bangsabangsa terjajah, disusul segera upaya awal negara mengisi kemerdekaan dengan proyek raksasa yang disebut “modernisasi” dan turunannya dalam wujud pembangunan. Soedjatmoko bergelut dan berkiprah sangat intens di dalamnya untuk menjadi bagian sebagai seorang humanis pembela kebebasan.

Memperingati seabad kelahirannya, dalam sebuah retrospeksi kita berupaya melihat kembali sosoknya, warisan dan relevansi pemikiran serta keluasan wawasannya yang mendalam dalam konteks terkini, di era perubahan global yang ditandai dengan krisis global kemanusiaan dan lingkungan hidup; hal yang menjadi salah satu keprihatinannya sejak pengujung abad silam. Tidak dengan cara romantik, namun tetap dengan optimisme tinggi untuk mengatasi krisis, melampaui kenyataan, menatap masa depan umat manusia yang lebih baik seperti yang selalu ada di benaknya.