Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Persaingan Usaha di Era Industri Digital

Guntur Syahputra Saragih

Dewasa ini, teknologi digital berkembang kian pesat mulai dari penerapannya hingga munculnya berbagai unit bisnis digital itu sendiri. Di Indonesia, banyak industri, terutama di sektor usaha jasa transportasi, perdagangan, dan keuang­an, telah menerapkan teknologi digital. Namun demikian, teknologi digital sesung­ guhnya telah lama diterapkan di sektor industri manufaktur. Industri yang menerapkan teknologi digital dapat lebih dini mengantisipasi arah dan keinginan pasar. Lebih jauh dari itu, berbagai perusahaan yang “memanfaatkan” teknologi digital dapat menjadi penentu gerak dan laju pasar. Mereka dapat bekerja dan bergerak lebih efisien dan cepat dibandingkan yang tidak dapat memanfaatkan teknologi digital. Perusahaan akan lebih berdaya saing dalam pasar yang sehat dan mensyaratkan adanya persaingan sem­purna.


Persaingan usaha yang sehat tentu diperlukan untuk performa ekonomi yang baik. Tanpa adanya persaingan usaha yang sehat, perusahaan tidak dapat berkembang de­ ngan baik. Sayangnya, praktik monopoli dan lainnya banyak terjadi di pasar sehingga memerlukan otoritas yang mengatur persaingan usaha tersebut. Di dalam kasus eko­ nomi digital, persaingan usaha tampak jelas pada sektor transportasi, misalnya, antara taksi daring dan taksi konvensional. Lantas bagaimana dampaknya terhadap persaing­ an usaha agar ekonomi dapat tumbuh dengan baik tanpa mengabaikan masyarakat? Bagaimana praktik lainnya selain di sektor transportasi?
Untuk itu, pada awal Juni 2021, Prisma berkesempatan mewawancarai Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih melalui ap­ likasi Zoom, yang mengelaborasi lebih jauh tentang persaingan usaha dan bagaimana posisi persaingan industri di Indonesia pada era digital dewasa ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelak­ sanaan Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut petikan wawancaranya.

 
Prisma (P): Persaingan yang sehat meru­ pakan faktor penting bagi perkembangan industri yang akan berdampak pada pertum­ buhan ekonomi serta pemerataan manfaat­ nya bagi masyarakat. Tanpa persaingan yang sehat, unit bisnis sebaik apa pun bisa hancur. Bagaimana Anda melihat peta persaingan usaha saat ini di Indonesia?


Guntur Syahputra Saragih (GSS): Salah satu indikator persaingan usaha adalah konsentrasi pasar yang menunjukkan apakah industri bersangkutan relatif cukup bersa­ ing atau tidak. Di beberapa sektor memang ada konsentrasi pasar, bahkan cenderung semacam “penumpukan” bila dilihat dari badan usaha pemiliknya. Di sektor perbank­ an, konsentrasi pasar antara bank pemerintah dan non­pemerintah tidak seimbang. Bank­ bank pemerintah masih menjadi pemain no­ mor satu dan dua. Dalam industri lainnya, misalnya, konstruksi perusahaan­perusahaan BUMN dengan nama belakang “Karya” tam­ pak sangat dominan. Bila dilihat dari produk domestik bruto, proporsinya masih “dikua­ sai” para pengusaha besar. Sedangkan 70 persen pelaku usaha kecil hanya sekitar 30 persen PDB. Sementara itu, proporsi pelaku usaha menengah yang seharusnya menjadi “jangkar” amat sangat kurang.


Di samping itu, hampir seluruh pelaku usaha kita tipikal “jago kandang.” Tidak ba­ nyak pelaku usaha kita berorientasi di luar pasar domestik atau sanggup bersaing di tingkat global. Mereka masih berkutat di pasar dalam negeri. Tidak mengherankan, proporsi ekspor Indonesia kebanyakan dari sektor usaha ekstraktif. Pemain dari luar pun relatif belum banyak yang masuk ke Indone­ sia. Persaingan pasar di negeri ini memang belum menuju persaingan yang sangat ketat. Masih banyak pelaku usaha yang berharap pemerintah harus aktif dalam kegiatan ekono­ mi. Pendek kata, persaingan di dalam negeri masih lekat dengan domain regulasi. Misal­ nya, ekspor dan impor bawang putih. Pelaku usaha kecil bawang putih hanya berjum­ lah 2,5 sampai 3 persen. Seharusnya impor bawang putih tidak perlu perlindungan agar terjadi persaingan di dalam negeri. Namun, terbit sejumlah regulasi tentang kuota atau momentum kapan harus melakukan impor­ tasi. Begitu pula beberapa industri kita yang kerap minta safeguard atau kebijakan biaya masuk anti­dumping dari negara. Itu meru­ pakan bukti bahwa pelaku usaha di dalam negeri perlu dilindungi dari persaingan yang lebih bebas. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebijakan safeguard yang dimaksud untuk memberi ruang dan waktu agar pelaku usaha kita mampu berkompetisi di tingkat global, menjadi seperti “candu.”
P: Secara global, ekonomi terlihat me­
ngalami banyak perubahan. Bagaimana Anda mengaitkannya dengan ekonomi Indonesia dan posisi penting ekonomi digital?
GSS: Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi membahas soal impor dari Cina, se­ hingga muncul istilah “benci produk asing.” Kita mungkin tidak menduga bahwa pembe­ lian bersifat personal dapat dilakukan secara digital. Ada beberapa marketplace, perantara penjual dan pembeli di dunia maya. Kini, semua orang bisa membeli barang secara personal dengan transaksi yang juga per­ sonal. Artinya, itu membuka sesuatu yang dahulu sulit dilakukan. Menteri Keuangan pun sempat khawatir dengan transaksi nera­ ca perdagangan kita yang banyak dilakukan dengan RRT. Persoalannya, digital yang se­ harusnya membuka ruang untuk kegiatan ekspor­impor, kita justru lebih banyak im­ portasinya. Opportunity dalam konteks un­ tuk lebih banyak melakukan ekspor belum terpenuhi. Kegiatan ekspor tidak merugikan karena tidak melakukan replacement ter­ hadap sektor pelaku usaha domestik. Karena itu, menggenjot ekspor harus didukung dan dijadikan orientasi bagi ekonom dan peme­rintah. Pada dasarnya, digital membuka lebar ru­ ang transaksi yang dahulu tidak terpikirkan untuk bisa melakukan cross-border. Namun, kita masih belum memanfaatkannya secara maksimal untuk melakukan ekspansi keluar. Yang terjadi justru kita kewalahan dengan barang­barang impor, khususnya dari RRT. Kita belum bisa secara maksimal meng­ giatkan ekonomi Indonesia dalam konteks global. Padahal, era digital dewasa ini bisa menjadi peluang sangat bagus. Digital kita ini hanya menjadi semacam ruang. Dalam konteks persaingan, kita justru mengundang pemain dan tamu dari luar untuk bersaing dengan pengusaha lokal, bukan memperluas ruang gerak dan pasar baru agar pelaku usaha kita bisa bersaing. Kita tidak menambah area bersaing, tetapi malah mengundang mereka untuk bersaing di wilayah kita. Pendek kata, opportunity ruang digital masih belum dapat kita manfaatkan secara optimal.

Bakar Uang
P: Mungkin perlu diperjelas soal persaing­ an dalam konteks impor­impor yang disebut digital. Komoditasnya apa saja? Di sektor jasa dan keuangan, arus modal ventura yang masuk dari luar sekarang ini sudah sangat mengglobal. Dalam soal ekspor­impor di era digital ini, komoditas apa saja yang diperhi­ tungkan dalam persaingan usaha?


GSS: Data yang ada lebih pada produk­ produk yang diakibatkan oleh kehadiran marketplace—perantara antara penjual dan pembeli di dunia maya. Situs marketplace bertindak sebagai pihak ketiga dalam trans­ aksi daring dengan menyediakan tempat ber­ jualan dan fasilitas pembayaran. Dari sudut pandang aliran modal, memang benar para pemain global banyak menginvestasikan modal ke Indonesia. Namun, dari sudut ak­ tivitas bisnis, para pemain global, misalnya, dari RRT, lebih melakukan eksistensinya di Indonesia dengan menggarap pasar negeri ini. Bahkan, beberapa marketplace, seperti Shopee atau Lazada, punya cakupan area tidak hanya di satu negara. Mereka ada di beberapa negara. Itu sebenarnya opportu- nity (peluang usaha­Red). Jadi, apakah user Lazada atau Shopee di Malaysia bisa men­ jadi opportunity barang kita masuk ke sana cross border. Kehadiran pemain global se­ benarnya merupakan opportunity yang mem­ buat kita bisa mengikuti pasar global mereka yang berada di berbagai negara.


Kita belum optimal “memanfaatkan” ke­ hadiran digital dalam konteks marketplace. Kita diguyur investasi dengan aksi “ba­ kar­bakar uang”, yang pada dasarnya lebih menguntungkan konsumen. Pemain­pemain global memang banyak mengucurkan uang dalam rangka menancapkan eksistensinya. Apakah pelaku usaha kita ikut compete di dalamnya atau persaingan di dalam negeri menjadi bertambah? Ekonomi digital me­ mang menguji mental dan kekuatan para pelaku usaha domestik. Mereka tidak hanya bersaing dengan sesama pelaku domestik, tetapi juga harus bersaing dengan produk­ produk dari RRT dan negara lain. Banyak user digital bisa membeli langsung dan kita terkaget­kaget beli barang seharga Rp 25.000 saja dari Cina. Kemudian mulai mun­cul jasa­jasa bisnis turunan, seperti importir yang bisa menjadi jembatan barang­barang dari Cina. Dengan kata lain, digital membuat persaingan di tingkat domestik makin ketat. Namun, sebaliknya, pelaku usaha kita belum bisa memanfaatkan oportunity itu untuk ber­ saing di tingkat global.


P: Yang diperhitungkan oleh KPPU adalah indikator di dalam neraca perdagang­ an dan mencakup consumer goods? Apakah barang­barang di marketplace juga masuk sebagai salah satu bentuk persaingan?


GSS: Justru digital itu membuka persaing­ an lebih ketat lagi dengan kehadiran pemain global, meski pada akhirnya pasar atau pelaku usaha makin terkonsentrasi. Mulai ada “merger akuisisi”. Ketatnya persaingan ke depan dilakukan dengan pelbagai cara yang sebenarnya kurang elok. Bagaimanapun juga, “bakar uang” itu kurang sehat dalam konteks persaingan. Aksi itu berangkat dari penguatan kapital bukan karena daya saing. Hari ini kita menyaksikan “pertempuran kapital” dalam bentuk “bakar­bakar uang.” Siapa yang akhirnya survive dan berujung pada konsolidasi pasar. Lembaga pengawas persaingan di mana pun khawatir dengan struktur pasar global dewasa ini yang cen­ derung sangat terkonsentrasi, mungkin oli­ gopoli atau monopoli, bila dikaitkan dengan badan usaha kepemilikannya. Kalau seperti itu, berarti makin mempersempit persaingan. Para pemain yang telah eksis perlahan na­ mun pasti akan hilang, karena dalam market- place yang berlaku adalah “adu kuat modal.” Walaupun mengkhawatirkan terjadi hal sep­ erti itu, KPPU masih memiliki kewenangan dalam menilai upaya merger­akuisisi yang cenderung membuat konsentrasi pasar ma­ kin kuat.


P: KPPU bisa melakukan assessment ter­ hadap persaingan di antara para pelaku mar- ketplace, bukan terhadap komoditas yang di­ jual di marketplace, dengan model atau pola merger akuisisi?


GSS: Penilaian terhadap merger akuisisi seyogyanya mengikuti peraturan perundang­an. Pelaku usaha yang melakukan merger akuisisi wajib lapor pra­notifikasi, bukan post­notifikasi, sehingga fungsi pencegahan bisa dijalankan ketimbang fungsi penindak­ an. Banyak orang bertanya apakah Gojek dan Tokopedia sudah lapor sebelum melakukan merger? Di marketplace­nya sendiri tetap ada insentif. Selain sudah menjadi sektor favorit, saya juga telah menyampaikan ke banyak pihak bila melihat adanya potensi pelanggar­ an industri digital bisa melapor ke KPPU. Untuk yang lain, kita biasanya mengambil inisiatif terhadap pelanggaran yang ada. Itu yang senantiasa dilakukan KPPU dan indus­ tri digital memang hal yang menarik karena dalam tempo singkat bisa “menguasai” pasar dan berada dalam posisi dominan. Salah satu yang menjadi orientasi penilaian otoritas pengawas persaingan usaha adalah kekuatan dan posisi pasar. Bayangkan Gojek atau Grab yang baru sekian tahun sudah punya ribuan armada, sedangkan perusahaan taksi Ekpress atau Bluebird butuh waktu jauh lebih lama dari itu untuk memiliki jumlah armada yang sama.


Dalam bisnis ada semacam insentif pro­ mosi untuk bisa masuk dan menembus pasar. Sementara itu, kadar “bakar­bakar uang” dan jangka waktu promosinya melebihi dari yang biasa. Dahulu, “promosi” adalah salah satu upaya pebisnis yang membuat produknya bisa masuk dan eksis di pasar. Biaya promosi adalah bagian dari unit bisnis produknya. Pebisnis harus memperhitungkan secara cermat besaran biaya promosi yang terse­ bar dalam waktu tertentu. Sedangkan kalau “bakar­bakar uang” saja terminalnya lebih besar karena tidak lagi “memperhitungkan” produknya, tetapi eksistensi dalam memba­ ngun ekosistemnya. Yang diutamakan adalah bagaimana membangun dan mengembangkan banyak kios serta menambah jumlah user se­ banyak­banyaknya, bukan eksistensi produk di pasar. Promosi adalah hal biasa dalam bis­ nis dan hal ini ibarat bermain layang­layang.

Pada titik ­titik tertentu, pebisnis harus me­ narik atau mengulur. Saat melakukan spend- ing di tahap awal, tentunya ia telah punya bayangan untuk mengambil opportunity di masa depan. Dengan kata lain, “bakar­bakar uang” beyond dari sekadar promosi.


P: Dahulu ada komputer, tetapi produk­ tivitas tidak optimal. Sekarang ada internet. Pertanyaannya, apakah internet akan lebih meningkatkan produktivitas atau Indonesia hanya ikut tren internasional saja?


GSS: Sebagai ilustrasi digital payment, seperti GoPay, DANA, Ovo, ShopeePay, LinkAja, dan lain­lain. Sebenarnya model digital di sektor perbankan sudah lama ada. Internet banking,    digital kartu kredit, atau teknologi lebih rendah seperti ATM, dan se­ bagainya, sudah lama ada. Namun, “digital” hari ini mungkin sama sekali berbeda. Dahu­ lu, internet banking menjadi tools untuk me­ minimalisasi biaya transaksi. Namun, digital hari ini beyond sebatas tools. Itu yang mem­ buat beberapa digital bisa eksis. Sektor per­ bankan pun jauh lebih mumpuni dan memi­ liki infrastruktur untuk itu. Namun demikian, digital hadir tidak sebatas “produktivitas.” Kalau produktivitas ada di dalam digital per­ bankan, orang akan menjadi lebih produktif. Sekali lagi, teknologi digital hari ini be- yond sekadar penciptaan produktivitas. Be- yond dari marketplace. Beyond dari hanya retail. Dalam konsep teknologi digital se­ bagai tools, beberapa supermarket sebena­ rnya sudah melakukan penjualan lewat tele­ pon berdasarkan promosi katalog. Namun, itu sebatas teknologi dalam upaya search- ing cost atau transaction cost, tidak untuk membangun sebuah ekosistem. Apakah In­ donesia hanya ikut­ikutan tren internasional saja bergantung pada para pelaku usaha kita yang berada di luar. Itu nature bisnis saja. Apa yang sudah teruji dan bisa eksis di luar pada akhirnya akan berimbas pada kita. Para pelaku usaha hari ini adalah juga para pe­ main global ekonomi digital. Walaupun ada pelaku usaha digital yang baru, namun bisa jadi mereka ini belajar dari luar dan bukan karena ikut­ikutan. Kita adalah bagian dari global itu sendiri.


P: Tadi dikatakan bahwa di era digital dewasa ini berkembang semacam “lembaga­ lembaga keuangan” yang menghimpun dana masyarakat, seperti model GoPay atau Ovo, termasuk sejumlah platform digital di bidang transportasi seperti Gojek atau Grab. Apakah KPPU mengganggap itu sebagai persaingan yang sehat? Sektor perbankan mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang mengalami proses digitali­ sasi, tetapi di sisi lain ada “lembaga­lembaga keuangan” yang menghimpun dana masyara­ kat dan melicinkan proses transaksi keuang­ an. Apakah itu sebuah persaingan yang sehat atau malah memunculkan konsentrasi oli­ gopoli atau monopoli?


GSS: Memang ia tidak dalam satu pasal bersangkutan yang pas dengan digital. Saya mengilustrasikan itu karena penggunaan teknologi komputer biasanya dikaitkan de­ ngan produktivitas dan dalam konteks per­ bankan hal ini sudah terjadi. Jauh sebelum era digital, sudah ada model pembayaran langsung atau lewat ATM dan mobile bank- ing. Namun, dalam persaingan, hal itu bisa menjadi ruang substitusi di pasar. Biaya tran­ saksi perbankan di Indonesia memang cukup tinggi. Biaya transaksi keuangan antar­bank sebesar Rp4.000–6.500 berapa pun volu­ menya (dulu RTGS). Kalau itu bisa disubsti­ tusi barangkali bisa membuat area persaingan yang baru lagi. Menilai digital saat ini agak sulit. Tidak bisa sekarang, karena yang di­ lakukan digital hari ini berupa “bakar uang.” Kita belum melihat kestabilannya. Dahulu isi ulang Ovo atau Gopay, misalnya, gratis, seka­ rang harus bayar biaya Rp1.500. Bandingkan kalau transaksi dengan perbankan lain atau isi e-toll. Namun, minimal dengan kehadiran “lembaga­lembaga keuangan” seperti OVO, GoPay dan lain­lain itu, bisa menekan dalam konteks transaksi pembayaran, bukan per­ bankan sebagai lending money. Karena per­bankan menjalankan fungsi bisnis transaksi pembayaran. Dalam industri itu, hal tersebut memberikan alternatif. Bahkan, mungkin lebih luas lagi itu bisa dianggap sebagai pa­ sar bersangkutan.
Kehadiran “lembaga­lembaga keuangan” itu memberikan dan membuka ruang tertentu di tengah­tengah biaya transaksi keuangan­ yang masih tinggi. Bila kompetisi dibuka, kita berharap akan lebih kompetitif sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen menjadi lebih murah. Dalam hal itu, biaya transaksi diharapkan turun. Bila mereka tetap seperti itu, maka ini bisa menjadi an­ caman. Lebih baik kita pakai digital money saja. Itu rasionalitas konsumen yang punya banyak pilihan. Pada dasarnya, unit industri transaksi pembayaran di perbankan dikuasai oleh segelintir bank. Tidak semua perbankan menguasai pasar itu. Untuk transaksi pem­ bayaran di jalan tol, misalnya, hanya ada BCA, BRI, dan Bank Mandiri. Industri tran­ saksi pembayaran tidak sebangun dengan in­ dustri perbankan sebagai fungsi intermediasi. Bank BNI besar, tetapi untuk fungsi transaksi pembayaran bank ini jauh lebih kecil. Kalau perbankan tidak kompetitif dengan harga masih tinggi, Ovo, GoPay, ShopeePay, dan lain­lain akan menjadi nomor satu. Pendek kata, digital hari ini masih “bakar uang.” Apakah ini akan menuju ke titik kesetimbang­ an, karena ujian persaingannya kelak ketika mereka sudah berada pada posisi tidak “ba­ kar uang.”Apakah mereka bisa eksis? Per­ bankan hari ini mungkin tengah menunggu, “kapan elo habis bakar­bakar. Gua nggak mau ikut­ikutan elo bakar­bakaran.” Kalau bicara infrastruktur dan kekuatan modal, per­ bankan memiliki kekuatan besar. Saya ingin lihat persaingan ketika mereka sudah tidak bakar uang. Konsumen hari ini memang di­ manjakan, tetapi konsumen memilih bukan karena faktor bakar uang. Pendek kata, ujian­ nya adalah ketika sudah tidak bakar uang. Malaikat turun ke bumi pun ada batas wak­ tunya.
 
P: Biasanya hanya ada dua kartu, yakni Flazz dan e­Money untuk membayar parkir di perkantoran atau mal. Apakah itu karena persaingan atau interest?
GSS: Yang pasti KPPU menjaga supaya lebih banyak muncul persaingan. Kami su­ dah beberapa kali melakukan advokasi kepa­ da pihak terkait supaya lebih variabel, tidak hanya Flazz dan e­Money saja. Saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan kenapa mereka bisa menjadi dua terbesar, tetapi pada dasarnya ada pengaruh faktor daya saing ma­ sing­masing serta konsentrasi bank bersang­ kutan apakah pembayaran digital menjadi prioritas dalam unit bisnis. Perbankan de­ ngan fungsi intermediasinya cukup banyak mendapat untung. Apakah ia punya dasar untuk mengalihkan atau mengejar profit pada transaksi pembayaran itu bergantung pada fokus pelaku usaha serta respons pasar. KPPU sudah beberapa kali menghadapi ka­ sus seperti itu dan biasanya mereka mengi­ kuti advokasi KPPU, sehingga pemainnya tidak hanya single atau dua saja.
P: Kartu itu semacam pengganti uang. Kalau harus bayar dengan kartu, meski pu­ nya uang tunai, kita tetap tidak bisa bayar parkir dengan uang tunai.
GSS: Dahulu di jalan tol itu hanya boleh kartu e­Toll dari Bank Mandiri. Sekarang, ti­ dak hanya kartu e­Toll, tetapi juga sudah bisa kartu Flazz milik BCA. Masyarakat memang butuh alternatif. Tidak bisa dimonopoli.

 

Meningkatkan Efisiensi Birokrasi


P: Apakah ekonomi digital dapat lebih meningkatkan efisiensi birokrasi dalam hubungan antara industri dan pemerintah yang sering kali bersifat administratif.


GSS: Ekonomi digital dapat lebih menin­ gkatkan efisiensi birokrasi. Hari ini kita bela­ jar dari pandemi Covid­19 yang “memaksa” untuk lebih banyak melakukan pertemuan online. Saya sudah 10 tahun mengajar di FEB­UI, jangankan mengadakan pertemuan via zoom seperti ini, terpikirkan pun belum. Pandemi Covid­19 membuat semua terpaksa dan bisa jadi salah satu legacy Covid adalah kebiasaan kita menjadi seperti ini, pertemuan atau perbincangan secara daring melalui ap­ likasi zoom. Sudah pasti digital menghasil­ kan efisiensi birokrasi, meski negara belum memanfaatkannya secara optimal. Misalnya, program Kartu Prakerja, terlepas dari perde­ batan substansinya, yang “mengambil” mod­ el digital. Kemarin kita juga lihat pemberian sembako bermasalah di KPK masih manual dengan memberikan barang. Saya pernah menanyakan ke salah satu Deputi Kemente­ rian UMKM, “Mengapa tidak menggunakan database atau pelaku­pelaku digital dalam mengakses pelaku usaha UMKM”? Kita ma­ sih belum masif menggunakan digital, pada­ hal potensi dan efisiensi sistem dan model digital cukup besar. Dalam penyelenggaraan administrasi harus diakui memang terjadi efisiensi berkat penggunaan digital, yang se­ benarnya ini merupakan salah satu “berkah” dari Covid­19.


P: Bila seperti itu, apakah ekonomi digi­ tal dapat lebih meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia?


GSS: Bicara kemandirian dalam arti le­ bih mampu menyuplai kebutuhan perminta­ an, seperti pernah dikatakan Bung Karno “berdikari di bidang ekonomi,” sebenarnya arti kemandirian itu ditantang dalam era dig­ ital hari ini. Namun, apakah tepat bila kita masih mempertentangkan kemandirian de­ ngan ketidakmandirian, karena digital hari ini justru membuka ruang untuk merambah pasar global. Apakah kita mempersempit ke­ mandirian tersebut dalam unit sektor­sektor atau dalam sebuah kerangka berpikir yang lebih holistik? Misalnya, kemandirian itu adalah transaksi neraca berjalan kita positif. Atau kita memandang kemandirian dimaksud sebagai “kita bisa makan beras sendiri, bikin gula sendiri, bisa buat kerajinan sendiri, dan lain­lain”. Bila itu yang terjadi, maka ini jus­
 
tru kontraproduktif dengan perkembangan ekonomi digital. Dengan ekonomi digital, kita bisa membuka pasar global dan dapat memproduksi air mineral dari 100 menjadi
1.000 botol, misalnya. Kita mengejar oppor- tunity untuk meningkatkan ekspor, sehingga akhirnya membuat transaksi neraca berjalan kita positif. Kalau bicara pasar global, kita harus siap untuk mengekspansi pasar luar dan juga harus siap pasar kita diekspansi oleh produk luar. Saya lebih menempatkan pemahaman agar kita siap untuk lebih in­ tens melakukan ekspor–melihat ini menjadi opportunity bukan sebagai strategi defensif. Itu ibarat permainan sepak bola gaya Italia, tetapi kita pakai gaya lebih ofensif. Kalau de­ fensif total, pada akhirnya produk dan pelaku usaha kita tidak ada dan sedikit yang bisa menikmati pasar global.
P: Apakah ada ukuran khusus keberhasil­ an persaingan usaha sehingga mampu ber­ adaptasi dengan perkembangan teknologi digital?
GSS: Salah satu indikasi persaingan adalah mengikis entry barrier. Dalam kon­ teks persaingan, ekonomi digital bisa men­ jadi jalan keluar untuk mengikis hal tersebut, selain memberi ruang kepada pemain untuk masuk ke pasar. Saya tadi mengilustrasikan sistem pembayaran sebelumnya hanya per­ bankan, sedangkan dewasa ini sudah ada Ovo, GoPay, ShopeePay, dan lain­lain. Bi­ arkan pasar yang lebih punya otoritas me­ nentukan siapa yang eksis dan siapa yang akan mendapatkan apresiasi pasar. Apakah ada ukuran khusus? Salah satu di antaranya adalah makin terkikisnya entry barrier. Sama halnya dengan kehadiran marketplace hari ini yang bisa mengikis entry barrier. Dahulu, kalau para retail memasok barang ke pasar modern, dia harus bayar listing fee dan daftar. Space mereka sangat terbatas. Itu merupakan tantangan bagi para pelaku usaha UMKM untuk masuk ke pasar modern, kare­ na tidak memenuhi skala ekonomi. Hari ini, marketplace dengan digital membuka ruang bagi pelaku usaha kecil bahkan mikro un­ tuk bisa punya kesempatan menjual barang di marketplace. Keberhasilan lain adalah ti­ dak adanya pelanggaran, karena, kembali ke awal, semua persaingan tetap akan gusar den­ gan aksi “bakar uang.” Yang justru dikhawat­ irkan adalah adanya pelanggaran persaingan untuk bisa rebound dari bakar­bakar uang. Karena meraih keuntungan dengan cara nor­ mal dianggap linier, sedangkan dia bakar­ bakar uang dengan hitungan eksponensial kapan balik modal. Untuk bisa mengimbangi hal tersebut maka dilakukan cara­cara “me­ langgar” persaingan yang sehat. Kita meng­ anggap ukurannya adalah tidak ada pelang­ garan, sehingga pelaku usaha makin banyak yang bisa masuk dan akan diuji di pasar siapa yang paling kompetitif.


P: Apa saja yang sudah dan belum dilaku­ kan pemerintah terkait penerapan teknologi digital di sektor persaingan usaha.


GSS: Beberapa waktu lalu, Kementerian Perdagangan melakukan repricing di mar- ketplace. Saya tanya, kalau memang ada, buktinya kasih KPPU saja. Bagi otoritas pe­ ngawas persaingan, kalau ada bisa membantu kita cari bukti pelanggaran silakan dilapor­ kan. Kita tahu ada beberapa kegiatan yang memang terkoneksi dengan pemerintah. Ka­ lau kita lihat hari ini memang ada sejumlah protes, seperti apakah digital hari ini sudah mendapatkan level playing field yang sama dengan non­digital? Ada juga isu kemitraan, terutama di sektor ride hailing, transportasi kendaraan berbasis aplikasi digital. Begitu pula di perhotelan dan marketplace. Di satu sisi, pemain digital yang unicorn atau deca- corn dalam transaksinya melakukan hubung­ an kemitraan. Konsekuensinya, hitungan penjualan dilimpahkan dalam satuan peng­ hasilan atau penjualan dari mitranya yang notabene usaha kecil atau usaha menengah.
Dalam perpajakan kita ada perbedaan pengenaan pajak antara yang besar, mene­ ngah, dan yang kecil. Sebagai contoh, Go­ jek dan Grab Car. Mereka bermitra dengan para driver yang usaha kecil. Penghasilan­ nya berupa fee sebesar 10 atau 15 persen. Sembilan puluh persen penjualannya dihi­ tung sebagai usaha kecil, maka pajak yang dibayarkan konsumen kepada pelaku usaha itu satuan hitung pajaknya 90 persen usaha kecil. Bandingkan dengan taksi dari perusa­ haan besar. Satuan pendapatannya dihitung pendapatan perusahaan besar, sehingga per­ pajakannya juga diperlakukan sebagai usaha besar. Yang penting jangan sampai digital hari ini bisa berkembang, namun tidak dalam proses persaingan yang cukup fair, salah satu­ nya dalam instrumen pajak di level playing field­nya tidak sama.

P: Bagaimana dengan banyaknya kasus antara industri yang mengadopsi teknologi digital dan yang tidak dalam persaingan usaha? Apakah pemerintah perlu ikut campur tangan, padahal secara teori sebaiknya tidak. Kalau pakai teori persaingan, pemerintah se­ harusnya tidak melakukan intervensi.


GSS: Dalam konteks persaingan, peme­ rintah seharusnya tidak melakukan intervensi. Akan tetapi, dalam konteks keberpihakan hal itu masih dimungkinkan. Kami pun di peng­ awas persaingan usaha ada keberpihakan. Peraturan KPPU tidak diterapkan bagi pelaku usaha kecil yang melakukan pelanggaran. Pemerintah harus “memberikan” iklim per­ saingan yang sehat untuk semua pihak. Na­ mun, dalam hal advokasi atau keberpihakan, pemerintah harus hati­hati untuk tidak meru­ sak iklim persaingan bisnis. Dalam hal itu, pemerintah boleh ikut campur, tetapijangan keberpihakan semu, seperti keberpihakan yang dibungkus “nasionalisme.” Bisa jadi berbaju nasionalisme, namun kelakuan ibarat VOC Belanda datang ke Nusantara memanfaatkan tokoh­tokoh Nusantara. Sim­ bol kelokalan setempat juga perlu dicermati. Kita tahu usaha kecil memiliki banyak keter­ batasan. Negara seharusnya mempersilakan usaha kecil ikut terlibat menikmati gurihnya ekonomi digital.


KPPU pernah melakukan advokasi kesalah satu Pemda yang membuat sebuah por­ tal digital. Pemerintah tidak mendukung salah satu pelaku usaha, tetapi justru pemerintah sendiri yang menjadi pelaku usaha. Peme­ rintah di situ tidak mempercayai pasar, kare­ na ia sendiri yang menjadi aktornya. Semua pelaku usaha kalau mau mengomunikasikan layanan jasa bisnis tertentu harus melalui portal tersebut. KPPU kemudian melaku­ kan advokasi, karena semangat ekonomi digital justru untuk mengikis entry barrier. Peraturan daerah tentang portal digital yang dirancang oleh Pemda itu sama saja menggu­ nakan digital untuk membuat entry barrier; kalian bisa eksis kalau mau ikut saya. Kita harus hati­hati dan jangan “gagap digital”. Mentang­mentang era digital, pemerintah juga harus digital. Pada dasarnya, pemerin­ tah sendiri yang membuat entry barrier me­ lalui tangan­tangan digital.


P: Kasus­kasus yang ada dalam peta per­ saingan di Indonesia dewasa ini apakah se­ makin tajam atau makin bisa diatasi?


GSS: Semakin kompleks dan KPPU kian tergopoh­gopoh dalam “mengejar” kasus­ kasus itu, karena sistem digital berkembang eksponensial dan kami harus kerja ekstra untuk bisa memahami itu karena ia tidak se­ sederhana yang biasa. Barangkali ini bukan untuk membela diri, berbagai lembaga otori­ tas pengawas persaingan di berbagai negara pun mengakui itu. Bahkan, KPPU membuat “industri digital” sebagai salah satu hal khu­ sus yang perlu kami dalami.

Persaingan Usaha dan Kemitraan
P: Bagaimana pandangan KPPU tentang posisi driver Gojek, Grab, dan lain­lain, apa­ kah mereka diandaikan sebagai UKM (Usaha Kecil dan Menengah) ataukah diandaikan sebagai pekerja? Perlindungan dan inter­ vensi yang harus dilakukan pemerintah tentu berbeda, yang selama ini diandaikan sebagai “mitra” bisnis perusahaan market- place, misalnya, Gojek, Grab, dan lain­lain yang dianggap sebagai UKM. Implikasinya, sebagaimana telah disinggung, adalah soal pengenaan pajak yang berbeda terhadap dia sebagai buruh Pph dengan pengenaan pa­ jak sebagai UKM. Di sana, ada komplikasi tersendiri antara yang dianggap mitra dengan apakah dia pekerja atau buruh ataukah dia UMKM?


GSS: Faktanya mereka yang di ride hail- ing seperti Gojek dan Grab itu mitra. Mereka tidak masuk ketenagakerjaan. Sudah pernah ada satu referensi kalau Mahkamah Agung di Inggris memutuskan driver­nya Uber itu tenaga kerja. Di sana berlaku seperti itu, by rules. Melalui proses yudikatif di Inggris, mereka dianggap sebagai pekerja. Satu hal yang dikenal dalam industri digital adalah “gig economy”, para pekerja lepas. Faktor kompetitifnya digital. Gojek dan Grab bisa berkurang daya saingnya bila para driver­nya “dikategorikan” sebagai pegawai. Itu sebab­ nya perusahaan taksi seperti Bluebird akan sulit compete karena hubungan dengan dri- ver­nya adalah hubungan ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui, hak dan kewajiban dalam hubungan ketenagakerjaan memberi­ kan cost jauh lebih besar dibanding dengan hubungan kemitraan. Belum lagi soal pesa­ ngon dan segala macam. Itu memang nature daya saing digital. Namun, dalam konteks perpajakan seperti tadi disinggung, itu bisa membuat level playing field­nya tidak sama. Barangkali itu PR kita bersama. KPPU sen­ diri berharap digital bisa survive karena fak­ tor daya saing, bukan karena memanfaatkan peraturan perpajakan yang berlubang­lu­ bang. Kalau perpajakannya kembali disa­ makan, apakah mereka tetap bisa bersaing? Hari ini saja eksistensi ride hailing mulai turun ketika mereka mulai mengembalikan ke harga dan biaya yang “tidak bakar­bakar uang.” Pasti akan ada kontraksi. Bagaimana kalau pajaknya juga dihitung. Hari ini masih seperti itu dan inilah salah satu faktor daya saing digital. Kalau itu diterapkan, mungkin akan membuat persaingan bisnis lebih kom­ petitif dengan industri di luar digital, seperti ojek pangkalan.


P: Artinya KPPU berasumsi bahwa driver ride hailing itu adalah mitra?


GSS: Tidak asumsi, tetapi itu faktanya. Kalau di Inggris semua driver Uber awal­ nya adalah mitra, tetapi keputusan yudikatif Inggris menyatakan mereka adalah pekerja. Saya tidak mengikuti apa konsekuensi pas­ ca­keputusan itu.


P: Konsekuensinya, semua bisnis digital di Inggris harus tunduk pada hukum perbu­ ruhan di Inggris.


GSS: Maksud saya, konsekuensi terha­ dap bisnis dan daya saingnya dengan non­ digital. Dengan dinyatakan sebagai pekerja atau karyawan, berarti perusahaan harus me­ nambah cost.


P: Barangkali bukan menambah biaya, tetapi kalau bisa diandaikan biaya itu tidak diperhitungkan sebelumnya karena mereka menganggap sebagai mitra bukan sebagai karyawan dari Gojek atau Grab. Karena di­ anggap sebagai mitra, maka mereka berada di luar dari perlindungan Undang­Undang Hukum Perburuhan di Inggris.


GSS: Bisa saya tambahkan, tetapi ini di luar konteks persaingan. Ada dua undang­ undang yang memberi amanah pada otoritas unit KPPU. Salah satunya adalah undang­ undang tentang UMKM, yang menyatakan bahwa, “KPPU mengawasi kemitraan”. Menurut UU UMKM, KPPU bertindak seb­ agai pengawas kemitraan, bukan persaingan. Di dalam kemitraan, dilarang memiliki atau menguasai dalam hal kontrak dan segala macam. Kewenangan ada di KPPU, tetapi itu berada di luar pengawasan persaingan. Ada peraturan perundangan tambahan di samping UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Banyak negara mungkin tidak seperti di Indonesia dengan lembaga pe­ ngawas persaingan diberi amanah “tambah­an” berupa pengawasan kemitraan. Dalam konteks pengawasan kemitraan, meski ber­ mitra, ada konsekuensi yang harus ditang­ gung. Bahkan, kalau itu dilanggar, KPPU berhak menjatuhkan sanksi, yaitu menutup izin usaha–sanksi terberat yang diberikan oleh PPNo. 17 Tahun 2013. Pada dasarnya, kemitraan pun harus diperlakukan dengan syarat tertentu. Pelaku usaha tidak boleh bertindak sembarangan dalam hubungan ke­ mitraan. Bila melanggar, mereka bisa dike­ nakan sanksi.


P: Dalam konteks itu, KPPU tetap ber­ pendirian hubungan antara perusahaan­pe­ rusahaan platform digital transportasi itu dri- ver­nya dianggap sebagai mitra dan karena itu diawasi oleh KPPU dalam kerangka hubungan kemitraan?


GSS: Iya. Kami tidak memandang itu se­ bagai persaingan.


P: Diandaikan mereka adalah mitra dan sebetulnya hubungan nya antar­driver juga dianggap sebagai kemitraan. Karena hubung­ an antar­driver juga berarti konsekuensinya adalah di situ pasti akan muncul persaingan yang juga diawasi. Kalau misalnya diang­ gap sebagai unit­unit kemitraan, artinya itu ada pada unit­unit driver perorangan mereka adalah dan hubungan antar­driver juga di­ anggap sebagai kemitraan.


GSS: Persaingan pelaku usaha dalam market.


P: Satuan usaha, bukan satuan buruh?


GSS: Bukan.


P: Jadi para driver itu dianggap sebagai satuan usaha?


GSS: Karena pelaku usaha juga bisa ma­ suk perorangan, tidak harus badan hukum. Di dalam pasar, misalnya, Gojek atau Grab, antara platform dengan driver­nya itu mitra. Akan tetapi, di dalam mitra itu ada persaing­ an antara driver dengan driver. Sebagai ilus­ trasi, KPPU pernah menghukum bersalah dalam konteks persaingan antar­driver. An­ tara­driver itu ada persaingan, hanya saja ka­ lau dia perorangan maka kategorinya sesama usaha kecil. KPPU mengecualikan itu, na­ mun di dalam driver juga ada badan usaha. Ada kumpulan driver. Itu mesti masuk. Dulu kita pernah menyelesaikan perkara antara Grab dan PT Teknologi Pengangkutan Indo­ nesia (TPI) sebagai himpunan pelaku usaha driver. Sesama driver sebagai perseorangan itu usaha kecil yang tidak mungkin disentuh. Kalau mereka tidak bersaing secara sehat, “Sudahlah itu diceramahin saja, masa usaha kecil dihukum.” Akan tetapi, kalau sebagai badan usaha menengah atau besar itu bisa saja dihukum.


P: Bagaimana persaingan usaha sektor fi­ nansial yang menggunakan teknologi finan­ sial seperti pembayaran elektronik. Kemu­ dian terkait dengan definisi uang, misalnya, apakah itu melanggar undang­undang atau ada persaingan antara uang digital dan uang non­digital ?


GSS:Ada case–nya. Kalau mau sombong lagi, dahulu di beberapa mal Lippo hanya menerima Ovo untuk bayar parkir. Kita per­ nah mengadvokasi dan Alhamdulillah tetap Ovo yang dipakai, namun kita bisa bayar pakai uang tunai meski yang dibayarkan ke petugas parkir sebagai Ovo. Yang utama adalah kepentingan konsumen. Bila sudah punya GoPay atau e­Money, masa konsumen harus beli Ovo?


P:Apakah itu bisa dikatakan merugikan konsumen?


GS:Tidak merugikan konsumen, karena kita boleh juga bayar dengan uang tunai. Be­ berapa mal memberikan alternatif seperti itu, namun pada dasarnya mengubah perilaku menjadi tidak dipaksa hanya pada satu kartu pembayaran digital tertentu.