Presidensialisme adalah sebuah paham mengandung pengertian saling bertentangan dan mengundang pertanyaan. Apakah presidensialisme tanpa pemilu presidensialisme? Apakah presidensialisme identik dengan Apakah Indonesia “mewakili” bentuk unik presidensialisme? stabil, mengapa bisa bertahan selama puluhan tahun? Apakah stabilitas merupakan nama lain dari otoritarianisme? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut jawaban menurut konteks lokal. dipakai sebagai contoh kasus.
Kategorisasi bentuk dan model pemerintahan yang selama ini dikenal antara parlementarisme dan presidensialisme sudah digugat oleh para ahli dalam berbagai penelitian empiris. Dengan demikian,
kategori yang semula dimaksudkan untuk mendekati taksonomi dalam biologi tidak pernah/ tidak mungkin tercapai bagi kepentingan ilmu politik makro. Pada dasarnya, upaya menghasilkan taksonomi tersebut gagal dan bahkan semakin kehilangan daya prediksi dan eksplanatif. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah
karena keduanya—presidensialisme dan parlementarisme—sudah saling memasuki satu dengan yang lain. Dengan kata lain, hampir tidak ada lagi presidensialisme dan parlementarisme murni; yang ada adalah gabungan dalam arti di sana ada parlementarisme yang mendekati definisi klasik dengan peran parlemen relatif kuat dalam mengontrol presiden dan di tempat lain ada presidensialisme dengan peran presiden yang relatif kuat dalam mengontrol parlemen. Upaya mencari dan menghasilkan alternatif teori dan praktik terus-menerus dilakukan.
Maurice Duverger, misalnya, membuat sebuah studi rintisan dengan Perancis sebagai contoh utama dengan mengajukan “semi-presidentialism” sebagai sistem yang dianut. Studi lain di Jerman menyodorkan sebuah sistem campuran yang disebut “präsidentiell-parlamentarische Zwischenformen”, model-antara sistem presidensial dan sistem parlementer. Bahkan, ada yang tanpa ragu mengatakan, “... semi-presidensialisme agaknya menjadi tipe rezim yang masanya sudah tiba,” dan mendaku bahwa 60 negara dewasa ini menganut sistem
campuran seperti itu.