Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dengan menawarkan terobosan untuk memajukan demokratisasi di indonesia melalui lensa teori wacana dan hegemoni. Sebagai sebuah proyek politik hegemoni, demokratisasi perlu membebaskan diri dari ortodoksi demokrasi yang melulu dipandang sebuah prosedur, sehingga membuatnya berakar sosial. Pertimbangan menyeluruh pada dimensi kontekstual demokrasi dan kemampuan untuk terus-menerus terlibat dalam pertarungan menjadi tak terelakkan dan merupakan bagian dari penyelesaian diperlukan.
Kita hidup di zaman demokrasi. Ide atau nilai “demokrasi” bukan hanya diterima, melainkan juga diperlakukan sesedemikian penting sebagai acuan dalam menilai tata kelola pemerintahan (governance) ataupun pengelolaan kepentingan umum. Hal itu berlaku baik pada tataran global dan nasional maupun lokal, bahkan dalam relasi inter-personal. Dalam syukurnya kita sebagai warga negara yang berhasil mendemokrasikan diri dengan susah payah, kini kita dirundung kekhawatiran. Capaian hebat kita—berdemokrasi dalam tatanan sosio-kultural yang sangat beragam dan rentan konflik ini dikagumi dunia— sedang dalam stagnasi, kalau tidak bisa dikatakan mengalami kemunduran. Pokok soalnya, demokratisasi terhenti bukan karena memang sudah benar-benar sempurna atau tuntas, melainkan karena kita tidak tahu dan tidak bisa mengambil langkah yang diperlukan untuk mendorong demokratisasi lebih jauh. Assessment terhadap demokrasi Indonesia yang kami selenggarakan dalam skema Power, Welfare, and Democracy (PWD), sampai pada kesimpulan bahwa para pejuang demokrasi tidak banyak lagi mengambil terobosan yang diperlukan, dan mereka berada dalam kondisi terfragmentasi.