Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Paradoks Makanan Nusantara

Ismid Hadad

Manusia tak mungkin hidup tanpa makan. Makanan kita sehari-hari bukan sekadar kebutuhan un- tuk hidup, tetapi juga menandai budaya, pengeta- huan, sejarah, bahkan identitas suatu bangsa atau daerah. Bahan-bahan pangan, kebiasaan, dan cara makan serta bagaimana mengonsumsi makanan yang baik dan sehat menjadi ilmu pengetahuan yang di- sebut gastronomi. Sedangkan kuliner merupakan ha- sil kegiatan mengolah bahan pangan, seni masak- memasak dan menghidangkan berbagai jenis bahan olahan yang enak dan siap untuk disantap. Maka gas- tronomi dan kuliner merupakan elemen penting dari perangkat budaya dan upaya manusia untuk hidup bukan sekadar mengisi perut, namun mencakup se- mua fungsi dan daya upaya untuk menghadirkan, memproduksi, distribusi dan konsumsi bahan pangan sampai ke tingkat perorangan.

Itulah yang membedakan manusia dengan he- wan dan makhluk hidup lainnya. Hewan tidak perlu berupaya mengolah dan memasak bahan pangannya sebelum dimakan. Sementara manusia punya kebu- tuhan yang beragam dan akal budi untuk berusaha memenuhi semua kebutuhan dan fungsi makan agar dapat menikmati manfaat kehidupan. Jadi, kebutuhan makan bukan hanya untuk fungsi energi agar mam- pu bertahan hidup, tetapi juga punya fungsi kesehatan agar tubuh tidak kekurangan sumber “zat gizi (nu- trisi)”, yaitu zat-zat karbohidrat, protein, lemak, vita- min, dan mineral, serta komponen bioaktif yang sa- ngat dibutuhkan agar tubuh bisa tumbuh menjadi manusia yang sehat, cerdas, dan berbudi. Selain itu, fungsi makanan juga untuk memenuhi rasa kenyang, rasa lezat, nikmat dan sedapnya makanan yang bisa memuaskan selera lidah masyarakat dari berbagai etnik dan daerah. Karena itu, peran rempah-rempah dan bumbu masak menjadi sangat sentral dalam ke- giatan dan produk-produk kuliner Nusantara. Hampir semua bahan pangan yang mengandung zat-zat gizi dan komponen bioaktif untuk fungsi energi, kese- hatan, dan pemuas selera makan itu berasal dari tum- buh-tumbuhan, hewan ternak dan ikan di laut mau- pun di darat. Semua bahan dan sumber pangan itu tersedia secara berlimpah di bumi pertiwi. Ia keka- yaan alami yang berasal dari keanekaragaman hayati Indonesia sebagai negara mega-biodiversitas nomor dua terbesar di dunia.

Di samping sebagai pengatur fungsi-fungsi bio- logis manusia, makanan masa kini juga berperan un- tuk memenuhi gaya hidup, budaya makan, dan se- kaligus juga identitas seseorang, komunitas serta suatu bangsa. Maka gastronomi dan kuliner juga mempunyai fungsi dan dimensi ekonomi, sosial, bu- daya, lingkungan, bahkan juga spiritual dan politik, yang kesemuanya bersifat sangat mendasar bagi kehidupan manusia dan masyarakat di negeri ini. Na- mun, ironisnya, faktor gastronomi itu hingga kini belum masuk dalam prioritas pembangunan dan stra- tegi nasional. Ketiadaan strategi dan sistem pangan nasional yang konsisten membuat peran kebijakan publik dengan kenyataan kehidupan masyarakat di berbagai daerah menjadi penuh dengan paradoks. Terdapat sangat banyak keanehan dan kontradiksi antara regulasi/kebijakan pangan nasional dengan kebijakan sektoral dan daerah, yang ternyata juga tidak sesuai dengan potensi sumber daya alam serta kebutuhan, karakteristik, dan selera makan komuni- tas masyarakat lokal.

Apa, di mana, dan mengapa paradoks makanan Nusantara itu terjadi? Sebagai negara mega-biodiver- sitas yang kaya akan ragam tanaman dan tumbuhan, namun dalam hal kebijakan pangan, Indonesia justru menerapkan sistem pertanian pangan monokultur untuk kebutuhan zat karbohidrat semata, yaitu ha- nya mengutamakan tanaman padi dan produksi be- ras saja untuk makanan pokok rakyat dari Sabang ke Merauke. Juga sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia punya kekayaan sumber zat pro- tein yang melimpah dari berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, namun kebijakan pengadaan kapal-kapal penangkap ikan oleh nelayan domestik belum mampu mencegah kapal-kapal asing menguras habis kekayaan biota laut Nusantara. Lebih parah lagi, kebutuhan ikan sebagai sumber pangan kaya protein itu juga tidak bisa terpenuhi oleh sistem pem- benihan ikan dan sarana budidaya perikanan yang masih jauh dari memadai.

Paradoks berikutnya, meskipun Indonesia kaya akan beragam bahan pangan berkhasiat tinggi dari umbi-umbian, kacang-kacangan, jagung, sagu, sor- ghum, dan sebagainya yang banyak tersedia di se- mua daerah, tetapi kini tidak dibudidayakan dan tidak dikonsumsi lagi oleh komunitas masyarakat lo- kal. Apakah fenomena itu ada hubungannya dengan kebijakan industri menciptakan makanan massal dalam bentuk “mi instan” dari tepung terigu berbasis gandum, yang meski tidak sebutir pun diproduksi ne- gara tropis seperti Indonesia, namun berhasil men- dominasi pasar produk pangan bahkan bisa “menye- ragamkan” cita-rasa dan selera makan masyarakat di seantero Nusantara?

Agaknya, pemerintah dan masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa kebijakan diversifikasi bahan pangan lokal adalah akar dari terbangunnya kemandirian dan ketahanan pangan nasional•
Ismid Hadad