Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Revolusi, Pembangunan, dan Pembebasan Manusia

Airlangga Pribadi Kusman

Menulis warisan intelektual dari salah satu putra kandung Revolusi Agustus 1945 bernama Soedjatmoko adalah memasuki labirin renungan reflektifnya yang dalam dan luas. Renungan reflektif untuk siap menjelajahi mozaik pemikiran Soedjatmoko di antara komitmen kebangsaan dan internasionalismenya, kesadaran mistikus yang berakar pada tanah Jawa sekaligus rasionalisme yang berdaulat sebagai warga dunia, kehendaknya yang tulus untuk mendorong emansipasi sosial sekaligus perhatian besar agar segenap perubahan tidak membawa guncangan sosial yang tidak tertahankan bagi warganya. Buah rasionalitas intelektual Soedjatmoko yang tertuang dalam artikel-artikelnya menyeret para pembacanya untuk menyadari bahwa jalan untuk menjelajahi persoalan sosial kemanusiaan, seperti pembangunan dengan segenap kompleksitasnya adalah masuk ke dalam kesadaran diri, menjadi manusia yang sadar bahwa dalam hubungan antara diri dan realitas sosial, kita akan memasuki medan ketegangan dan dilema sosial antara kesempatan untuk melakukan perubahan dan keterbatasan-keterbatasan sosial yang harus dihadapi.

 

Akal Budi dan Pengalaman Hidup

Ketika menziarahi pemikiran Soedjatmoko, kita akan menemukan buah pemikiran beliau—seperti yang ditafsirkan Ignas Kleden (1998) dalam karyanya Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan—adalah manifestasi dari kedaulatan akal budi Immanuel Kant. Sebuah pembebasan nalar dari ketidakdewasaannya, akibat ketidakberanian untuk lepas dari ketergantungan terhadap kekuatan di luar dirinya, dengan ikrar Sapere Aude (berani berpikir merdeka). Di sisi lain, kita akan menemukan jejak-jejak perjumpaan yang mendalam dirinya dengan Ki Ageng Suryomentaram yang dia jumpai pada masa suasana revolusioner Indonesia, dengan meresapi kesadaran manusia yang berpengetahuan adalah mengada, menghayati hidup dengan totalitas kesadaran spiritual sebagai manusia.

            Sepertinya perlu ditambahkan bahwa proses penziarahan atas perjalanan intelektual Soedjatmoko juga dapat didekati (namun tidak dibatasi) dalam jelajah fenomenologis dari Edmund Husserl, terutama terkait dengan konsep horizon atau cakrawala. Dalam bingkai ini,a mematangkan pengetahuan manusia adalah tidak sekadar mengunyah sekeranjang gagasan dalam isi kepala, namun komitmen yang sadar untuk membawa akal budi masuk dalam dunia pengalaman hidup. Dalam perjalanan pendewasaan akal budi, kesadaran mengarungi pengalaman hidup mensyaratkan kedewasaan untuk berani melampaui pengetahuan kita sebelumnya, mengingat seperti halnya sebuah cakrawala maka stok pengetahuan sebelumnya adalah batas dari persepsi kita atas kenyataan yang terus-menerus makin meluas. Saat melangkah lebih jauh dalam perjumpaan atas akal budi dan peristiwa-peristiwa yang kita singgahi, batas pengetahuan akan memudar dan kita akan menemukan kenyataan baru seiring perjalanan dalam perjumpaan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan. Demikian pula pematangan akal budi akan terus berproses bersama perjalanan hidup yang berhadapan dengan berbagai peristiwa adalah hasil dari optimalisasi kesadaran dalam tindak merasa, mengetahui, dan menyaksikan.

            Seperti tertoreh dalam renungan Soedjatmoko (1990) akan Revolusi Indonesia Setelah 45 tahun, kita akan mengenal suara-suara yang kuat tentang ide kemajuan, kesetaraan, dan pembebasan sebagai jejak-jejak perjumpaan yang intens dari tiga mentor politiknya. Mereka adalah figur menara-menara intelektual sosialisme dan pencerahan Indonesia, yaitu Amir Sjarifuddin, Sukarno, dan Sutan Sjahrir, dalam mengarungi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, di sisi lain, api sosialisme untuk mengubah dunia tersebut bersanding dengan sikap mawas diri. Sikap politik yang bisa kita temukan lamat-lamat dalam uraian-uraian lirih Edmund Burke dan Alexis de Tocqueville dalam mengoreksi efek guncangan sosial yang tak tertahankan dari Revolusi Perancis. Sentuhan intelektual bisa kita temukan pula pada nyala api sosialisme yang harus berjalan perlahan-lahan dalam pusaran pergumulan politik yang memaksa kita menahan diri dalam mempertimbangkan setiap jalur pembebasan, seperti uraian sosialisme Fabian ala Bernard Crick dan Harold J Laski dalam memahami politik di Inggris. Suara yang tak lelah mencari dan menemukan jalan perubahan yang tetap konsisten, namun berusaha menempatkan agar rakyat tidak kembali menjadi objek penderita dalam perjuangan mengubah dunia. Suatu pencarian yang tidak berhenti pada perjumpaan atas sejumlah dilema politik yang menyertainya.  

 

Revolusi dan Demokrasi

Dalam renungan Soedjatmoko atas Revolusi Indonesia dan perjalanan bangsa, kita akan menyaksikan penghormatannya yang tinggi terhadap pemimpin kaum kiri-revolusioner Amir Sjarifuddin karena ketinggian pikiran dan spiritualitas Kristen-nya yang dalam serta kesepakatannya atas Sjahrir bahwa menjadi sosialis tidak harus mengurangi komitmen terhadap perjuangan demokrasi. Hal yang juga menarik dalam renungan tersebut adalah refleksinya atas perjumpaan dialektik antara dirinya dengan Sukarno. Perjumpaan itu begitu intens dan terbangun percakapan yang ditandai pertukaran gagasan dalam relasi antara tesis dan antitesis. Sebuah percakapan dialektik yang kompleks, meskipun kerap kali berseberang jalan. Soedjatmoko selalu menemukan dalam tiap perjumpaan dengan Sukarno suatu proses pendewasaan akal budi dengan pelampauan atas batas-batas pengetahuannya terdahulu menuju pengungkapan cakrawala baru.

            Percakapan dialektik antara Soedjatmoko dan Sukarno apabila diperas berada pada lima titik koordinat yang bertalian dengan problem kemerdekaan, revolusi, demokrasi, dan rakyat. Untuk memudahkan perbincangan, kita dapat meringkasnya dalam sebuah ibarat, Sukarno dalam pidato magnum opus-nya mengenai Lahirnja Pantja-Sila menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sebuah jembatan emas yang diujungnya kita akan menyempurnakan susunan masyarakat bagi keadilan dan kemakmuran rakyat. Untuk soal itu, Soedjatmoko menyepakatinya. Antitesis yang dia tampilkan adalah sehubungan dengan kendaraan seperti apakah yang harus digunakan untuk melalui jembatan emas tersebut, bagaimana kita melalui jembatan emas yang ternyata dalam setiap perjalanan di dalamnya kita menemukan berbagai hambatan. Bagaimana pengemudi menjalankan kendaraan tersebut sehingga dalam perjalanan di atas jembatan emas yang penuh dengan guncangan, rakyat yang ada di dalamnya tidak mabuk, tak sadar, dan bahkan menjadi korban dalam menelusuri perjalanan melalui jembatan emas kemerdekaan. Pada titik inilah Soedjatmoko bersimpang jalan dengan Sukarno.

            Menurut Sukarno, revolusi nasional adalah ibarat seorang sais kereta kuda yang baru saja menyelamatkan kuda-kuda dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, sang sais harus mengikuti dahulu energi meluap-luap dari kuda-kuda yang dikemudikannya sebelum akhirnya mengarahkan jalannya kereta kuda setelah gelora dan hasrat itu mulai memudar. Persoalannya bagi Soedjatmoko adalah bagaimana kalau dalam gelora energi dari kuda-kuda tersebut sang sais harus terjungkal? Pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Sukarno (atas kesaksian dari Soedjatmoko), itu adalah risiko dari sebuah jalan revolusi. Jawaban itu tidak memuaskan nalar Soedjatmoko.

            Dalam dilema saat usia-usia awal Republik di relung pikiran cakrawala, Soedjatmoko terombang-ambing di antara dua ketegangan demokrasi atau revolusi. Soedjatmoko memandang jalan revolusi harus segera dimoderasi dan dikanalisasi melalui jalan demokrasi liberal. Hal itu, misalnya, dia tunjukkan dengan uraiannya soal pembagian periode politik. Pada periode yang beliau terlibat dengan intens sampai tahun 1958, dia sebut sebagai jalan demokrasi. Sementara periode pasca-1958 yang dia tolak dan kritisi dengan sikap tidak mau bergabung dalam kabinet demokrasi terpimpin-nya Sukarno, dia beri nama periode revolusi.

            Setelah melampaui zaman Vivere Pericoloso (tahun-tahun yang membahayakan) dalam perjalanan Indonesia pada era pemerintahan Sukarno, Soedjatmoko kembali terlibat pada tahun-tahun awal pemerintahan Soeharto. Namun, rezim kekuasaan tempat Soedjatmoko terlibat di dalamnya ini, tidak sesuai dengan pikiran-pikiran rasional maupun cita-cita perwujudan pembangunan yang bercorak humanistik. Ternyata riwayat sejarah Indonesia menggelar jalan perubahan yang kikir bagi seorang demokrat maupun intelektual humanis seperti Soedjatmoko. Diawali dengan tumbal pembantaian terhadap ratusan ribu, bahkan dalam beberapa estimasi jutaan jiwa manusia dari tahun 1965-1966, pergulatan antara kaum demokrat liberal, teknokrat pembangunan, dan aliansi militer dalam pusaran kekuasaan Soeharto menghasilkan pola pembangunan yang bersanding dengan kekerasan negara dan korupsi.

            Kenyataan pahit tersebut dirasakan, disaksikan, dan diketahui oleh Soedjatmoko, terutama saat kembali ke Indonesia setelah mengabdi menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat sejak 1968 sampai 1971. Suatu bekal hidup proses pendewasaan akal budi melalui proses mengada dalam suatu kesadaran penuh. Pengalaman dan pengetahuan yang selanjutnya diuraikannya dalam berbagai tulisan tentang pembangunan, peran intelektual, dan etika pembebasan manusia. Agar tulisan ini tidak menjadi torehan klangenan semata atas figur Soedjatmoko, maka kita akan mengupas cakrawala pemikiran Soedjatmoko secara hemat, terutama terkait dengan gagasan pembangunan, pembebasan, dan komitmen intelektual di dunia ketiga. Hal itu tidak hanya terkait dengan maknanya dalam masa hidup Soedjatmoko saja, tetapi relevansinya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini.

 

Pembangunan sebagai Upaya Pembebasan Manusia

Pada pengujung abad ke-20, tepatnya pada tahun 1999, publik intelektual terpukau dengan uraian-uraian genial dari filsuf dan ekonom peraih Nobel Ekonomi dari India, yaitu Amartya Sen yang menulis karya magnum opus-nya berjudul Development as Freedom. Sejatinya, uraian intelektual tersebut terhubung dalam vibrasi serupa dari buah-buah pemikiran Soedjatmoko terutama dalam tema besar pembangunan yang menghormati martabat manusia. Tulisan ini memiliki ruang terlalu terbatas untuk menguraikan semesta pemikiran Soedjatmoko dengan lekuk-liku dan labirin penghayatannya dengan dunia pengalaman bumi manusia. Namun, untuk mengecap setitik mata air kecemerlangan pemikiran Soedjatmoko, kita akan mendiskusikan bagaimana uraian beliau tentang dimensi pembangunan beserta kendala-kendala yang dihadapinya dalam beberapa artikel, seperti “Pembangunan dan Transformasi” yang ditulis pada 1971, “Cendekiawan di Negara Berkembang” pada 1971 dalam kuliah yang diselenggarakan oleh Asian Society, maupun Development and Freedom yang dia tulis sebagai bagian dari Ishizaka Lectures pada 1979.  

            Soedjatmoko, misalnya, mengulas secara tajam dan dingin perihal perkembangan ilmu sosial yang tumbuh marak berkembang sejak era tahun 1960-an. Ilmu sosial kala itu tengah tumbuh dalam tuntunan disiplin rezim pengetahuan developmentalism dan modernisasi. Pada saat itu, di negara berkembang di Indonesia tengah tumbuh antusiasme terhadap narasi modernisasi dan developmentalism dalam kajian disiplin ilmu sosial, politik, dan ekonomi. Dalam kajian ilmu politik, misalnya, sambutan dari intelektual negara berkembang begitu tinggi terhadap karya Samuel P Huntington (1968) Political Order in Changing Societies dan dalam ilmu sosial, seperti karya klasik Daniel Lerner (1958) The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East. Sementara itu, dalam ilmu ekonomi hadir karya WW Rostow (1960) The Stages of Economic Growth: A Non Communist Manifesto dan beberapa karya dalam pakem mazhab modernisasi dan developmentalism. Kala itu, histeria kalangan teknokrat dan akademisi terhadap gelombang besar karya-karya modernisasi dan developmentalism berjalan seiring dengan pergeseran politik di negara-negara dunia ketiga dari rezim kekuasaan yang menggelorakan penjungkirbalikan tatanan sosial melalui jalan revolusi beralih ke rezim yang sebagian besar di antaranya dikawal oleh tampilnya elite baru militer yang menjanjikan ketertiban sosial sebagai pengawal pembangunan ekonomi.

            Justru pada saat karpet merah tengah digelar oleh rezim maupun kalangan intelektual negara berkembang terhadap teori-teori sosial modernisasi dan pembangunan, Soedjatmoko melontarkan kritik dalam bahasa renungan meditatif yang kuat. Bagi Soedjatmoko, rangkaian karya tentang pembangunan dan modernisasi yang diproduksi oleh kalangan ilmuwan adiluhung yang dekat dengan para pengambil kebijakan di negara-negara dunia pertama tersebut memiliki sederet kelemahan dan keterbatasan. Pertama, karya-karya tersebut menjauhkan persoalan pembangunan dari realitas kekuasaan dan pertarungan sosial yang berlangsung di dunia ketiga serta mengalihkannya semata-mata pada persoalan teknokratis maupun birokratis administratif. Padahal, bagi Soedjatmoko bahwa berbagai orientasi pembangunan tidak bisa dilepaskan dan selalu bertaut dengan pertarungan sosial dalam konstelasi kekuasaan. Perimbangan kekuasaan sangat menentukan prioritas pembangunan yang dipilih, sektor kelompok sosial yang diangkat atau diberdayakan, pola penataan kota yang tak luput dari pertarungan kepentingan sosial, pabrik yang dibangun maupun bendungan yang akan dibuat di kawasan pemukiman rakyat miskin.

            Melampaui era Soedjatmoko, refleksi intelektual yang diuraikan oleh Soedjatmoko itu masih sangat keras kepala mewarnai kajian pembangunan dalam disiplin kajian governance di tengah kuasa pasar yang semakin menguat maupun kepentingan aliansi bisnis-politik yang masih bertahan dalam perjalanan waktu. Dalam pisau bedah analisis Soedjatmoko untuk memahami dinamika ekonomi-politik di Indonesia, kita masih menemukan relevansinya. Problem dalam kajian critical political-economy disebut sebagai elephant in the room (gajah di dalam ruangan), yaitu ketika gurita kekuasaan dan pertarungan faksi-faksi bisnis politik begitu terang terlihat dalam medan pertarungan kekuasaan, namun tak pernah dibahas dalam tumpukan meja penelitian maupun proses pengambilan kebijakan di kalangan teknokrasi di pusat-pusat kekuasaan. Inilah persoalan yang begitu menguat yang ditemukan oleh Soedjatmoko pada fajar kekuasaan rezim Soeharto. Dari sini kita bisa menemukan jejak-jejak cara pandang sosialisme yang dia dapatkan dalam pergumulan intelektual dengan mentor-mentor politiknya.

            Kedua, menurut Soedjatmoko, dari berbagai macam produksi dan reproduksi wacana tentang pembangunan dan modernisasi di dunia ketiga terungkap wajah getir pembangunan sebagai kelemahan utama dari rezim pengetahuan tersebut. Persoalan itu karena diabaikannya dimensi-dimensi utama kehidupan manusia terkait orientasinya terhadap masa depan, kecemasan, dan keresahan yang menyertai perjalanan hidupnya, harapan dan ekspektasi akan kehidupan yang lebih baik sebagai tujuan dari pengabdian ilmu-ilmu sosial. Secara lebih puitis kegetiran itu mengingatkan kita pada syair indah lagu Kesaksian yang dibawakan oleh grup band Kantata Takwa yang digubah syairnya oleh WS Rendra,”Orang memanah rembulan, burung hilang sirna sarangnya, sirna, sirna, hidup redup, alam semesta, luka.

            Dalam disiplin teori modernisasi dan pembangunan kita menyaksikan betapa target-target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diletakkan secara obsesif. Sementara target-target grandiose tadi dikejar dengan kerap kali mengabaikan pengetahuan soal harapan-harapan utama dari manusia, ketahanan warga dalam menghadapi kejutan-kejutan perubahan sosial yang harus mereka hadapi, serta pengorbanan-pengorbanan kemanusiaan yang harus dipersembahkan di atas altar pembangunan. Pada zaman kehidupan Soedjatmoko, hal itu terjadi ketika kuasa negara-negara dunia ketiga terlihat kekar mengawal rezim dunia ketiga. Kondisi yang sama tetap terjadi saat ini ketika kuasa pasar menguat seiring dengan bertahannya gurita kekuasaan dari oligarki. Kita menyaksikan betapa kontroversi kebijakan yang beberapa waktu lalu menyeruak di hadapan kita berkait kontroversi Undang-Undang Cipta Kerja yang mengejar masuknya investasi ekonomi ke Indonesia, sementara pada sisi lain mengabaikan harapan hidup, kondisi kerja yang lebih baik, kecemasan sosial atas hidup dalam tekanan dan kontradiksi sosial akibat dominasi kapital di bawah arus besar neo-liberalisme.

            Pada saat ini, keresahan Soedjatmoko sekitar setengah abad silam memanifes dalam bentuk gelombang pasang tampilnya antagonisme politik identitas dalam panggung politik. Saat tekanan hidup di tengah menguatnya ketimpangan sosial-ekonomi semakin terasa, keresahan hidup akan ancaman pemiskinan sosial, memudarnya martabat ekonomi (economic dignity) dari masyarakat ketika keluarga terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan utama anggotanya. Terdapat juga kesenjangan akan harapan untuk mencapai kesejahteraan yang dapat dicapai melalui tangga-tangga pendidikan tidak bertemu dengan kenyataan sosial. Berbagai rangkaian persoalan tersebut tidak lagi mampu tertahankan oleh banyak orang, tidak saja dari kalangan kelas bawah, tetapi juga dari kelas menengah akibat skema tata kelola pemerintahan dalam kenyataannya tidak memberikan ruang kanalisasi atas keluhan-keluhan manusia.

            Dalam kondisi demikian, ledakan sosial yang muncul mewujud menjadi antagonisme politik populisme, sesuatu yang menjadi patologi sosial-politik yang terjadi baik di negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, dan India bahkan juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, serta Prancis. Ironisnya, justru ketika koneksitas sosial antara amuk politik, pengabaian harapan hidup manusia yang bertemu dengan laju ketimpangan sosial yang mengejar akumulasi kapital semakin terlihat nyata, kutub-kutub kekuasaan politik dan pengetahuan terus bersikap bebal dalam rutinitas pola pembangunan yang abai terhadap kehormatan kemanusiaan. Sesuatu yang dalam pandangan Soedjatmoko dipahami sebagai keadaan ketika arus perubahan sosial dengan tekanan-tekanannya tidak tertanggungkan oleh rakyat, maka kerap kali rakyat kembali pada identitas-identitas parokialnya sebagai bentuk pertahanan diri.

            Ketiga, bagi Soedjatmoko perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama yang mengedepan dalam disiplin ilmu politik (political development) yang terbentuk dari produksi rezim pengetahuan modernisasi dan pembangunanisme sejak tahun 1960-an sampai pada sebuah jawaban muram. Hal itu terkait dengan penjelasan dalam disiplin kajian modernisasi sosial-politik, bahwa dalam persepsi menara gading intelektual negara-negara dunia pertama, berbagai macam ketegangan dan konflik sosial yang berlangsung di dunia ketiga dipandang sebagai ketidaksiapan dan primitifnya tahapan kehidupan sosial di negara-negara baru. Oleh karena itu, lanjut pandangan ini, otoritarianisme dan tertib sosial yang dijalankan oleh rezim kekuasaan yang keras adalah sebuah keharusn dalam menggapai tangga-tangga kehidupan modern.

            Untuk Soedjatmoko yang dalam sejarah hidupnya pernah bersikap tegas menolak jalan perubahan menuju sosialisme melalui revolusi yang berlangsung dengan pengabaian atas demokrasi, maka perjumpaannya dengan kenyataan pembangunan yang dilaksanakan melalui jalan kekerasan anti-demokrasi adalah suatu kenyataan sosial yang pahit. Pembenaran atas arah kekuasaan menuju otoritarianisme di negeri-negeri berkembang dalam disiplin kajian modernisasi yang diproduksi oleh panggung-panggung kekuasaan dalam rezim-rezim pengetahuan dunia pertama membawa efek mengerikan. Kondisi tersebut, bagi Soedjatmoko, membuat berbagai komitmen sosial dari kalangan intelektual progresif, aktivis pro-demokrasi dan warga yang hendak memperjuangkan jalan pembangunan yang lebih membebaskan yang menempatkan pemuliaan martabat manusia, menjadi sebuah perjuangan dalam sunyi.

            Dunia telah melangkah melampaui era Soedjatmoko, namun saat ini keresahan Soedjatmoko masih bertahan dalam kenyataan sosial yang pahit. Pola-pola pelemahan atas demokrasi, manipulasi, dan pembungkaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan manusia atas nama pengejaran econocracy (kekuasaan yang mengabdi pada kehendak ekonomi, akumulasi modal dan penggelembungan kemakmuran bagi lapisan minoritas kelompok sosial paling makmur dan berkuasa) yang berlangsung di berbagai wilayah dunia, perlahan-lahan mendapatkan pembenaran dalam meja-meja akademik dan teknokrasi. Sementara kalangan intelektual kritis maupun aktivis pro-demokrasi berjuang dalam sepi, saat ruang publik digital yang dipenuhi oleh para buzzer dan influencer kekuatan dominan membingkai keberadaan mereka dalam ejekan Social Justice Warrior.    

            Rangkaian persoalan yang bergeming dan terus-menerus menjadi mimpi buruk maupun kenyataan getir sejak zaman kehidupan Soedjatmoko sampai saat ini, tidak harus membuat kalangan pergerakan masyarakat sipil untuk skeptis dan putus asa. Dalam penelaahan beliau terhadap perjuangan intelektual di negeri dunia ketiga yang menyerukan dilema-dilema sosial yang dihadapi oleh kalangan intelektual, problem-problem berat yang dihadapi hendaknya tidak membuat mereka menjadi berjarak dengan arus perjalanan bangsa. Kalangan intelektual negara berkembang tetap perlu mencari jalan terobosan baru untuk melibatkan diri dalam arus besar perubahan sosial yang berlangsung di negeri masing-masing. Pilihan-pilihan keterlibatan politik yang tercipta tentu tidak harus berada pada titik-titik ekstrem di antara pilihan menjadi sekrup-sekrup kekuasaan yang melanggengkan korupsi dan tirani atau pilihan radikal dalam menghujat kekuasaan yang akan membawa mereka menuju tirai besi penjara.

            Di antara dua pilihan yang sangat antagonistik tersebut, kalangan intelektual dunia ketiga dapat terus terlibat membangun kesadaran akal budi sebagai bagian dari masyarakatnya. Hal itu dapat dilakukan dengan mawas diri yang mensyaratkan tidak saja rasionalitas analitis yang tajam dan keberanian berhadapan dengan kekuasaan, namun juga ketika realitas panggung politik sering kali tidak rapi, berliku, becek, serta penuh onak dan duri. Sebuah perjuangan memajukan gagasan yang menjunjung tinggi kemuliaan martabat manusia harus dilakukan dengan intensitas kesabaran yang tinggi dengan kesediaan untuk menyambutnya, dengan aksi menentukan ketika momen perubahan tersebut datang. Sebuah kesabaran revolusioner!