Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Hak Milik, Pertahanan, dan Perang

Daniel Dhakidae

Hak milik tidak mengenal tanggal lahir karena ia tumbuh dalam proses. Dalam kumpulan manusia purba tanpa hak milik tidak ada sesuatu pun yang pantas dan ingin dipertahankan. Tanah, air, dan udara adalah milik semua orang dalam jumlah yang berlimpah-ruah, meski bukan dalam arti kelimpahan absolut, akan tetapi dalam arti relatif, tergantung dari kemampuan menaklukkan alam.

Hak milik melahirkan konsep bahwa ada batas di mana intervensi orang lain, orang luar, tidak diperkenankan. Untuk itu harus dipertahankan, meski tidak ada yang tahu persis apa yang menjadi milik manusia pertama di luar tubuh dan dirinya sendiri. Dalam seluruh jalan pikiran androsentrik, di mana lelaki menjadi pusat dunia, hak milik pada awalnya mungkin hanya dua, yaitu istri, sekurang-kurangnya menurut Friedrich Engels, dan tanah, sekurang-kurangnya menurut Rousseau. Hanya ketika keduanya menjadi milik dan hak milik, maka konsep tentang mempertahankan sesuatu itu muncul.

Karena itu sejak Yunani kuno, sekurang-kurangnya dalam mitologinya, mempertahankan dan membela Helena atau Helen of Troy menjadi awal dari perang berkepanjangan di Sparta. Untuk membawanya lagi lebih dekat ke kampung sendiri, sungguh mengherankan bila mempelajari sebab-musabab tawuran, yaitu “perang batu” di antara siswa-siswa sekolah menengah Indonesia. Tawuran adalah perang para bocah yang sering kali untuk mempertahankan pacar—calon istri khayalan—yang diganggu bocah lainnya. Di sini, Yunani kuno dan Indonesia modern berada dalam satu ruang.

Hak milik adalah awal dari usaha akumulasi modal. Pertahanan pada gilirannya menjadi konsekuensi akumulasi modal. Karena itu, pertahanan dan modal adalah dua sisi dari sesuatu yang sama. Pertahanan menarik garis demarkasi sedangkan modal meluaskan kaki-langit ke seantero penjuru dunia. Pertahanan berurusan dengan batas-batas di darat, laut, dan udara. Modal berupaya membuyarkan batas-batas itu, dan semua batas berubah rupa menjadi Lebensraum bagi yang kuat. Pertahanan zaman modern adalah ketegangan antara menjaga batas dan mengakumulasi modal yang tidak mengenal dan mengakui batas.

Karena itu, Rousseau masih mengatakan sesuatu yang perlu didengar dua ratus tahun berselang, bahwa siapa pun yang pertama memagari sebidang tanah dan mengatakan “ini milikku” menjadi awal dari pertikaian, pembunuhan, bencana, kekejaman, yang hanya bisa diselesaikan bila pagar itu dicabut. Rousseau membayangkan secara hipotetis suatu zaman purba. Namun, “mencabut pagar” pada masa kini menjadi awal dari pertumpahan darah tanpa batas. Israel dan Palestina merupakan contoh yang terlalu mengerikan untuk dikutip ulang.

Perang Irak pun menunjukkan dengan jelas ketegangan itu. Hampir tidak ada keperluan apa pun bagi Amerika Serikat untuk menjaga batas, baik di darat, laut, maupun udara, di Amerika apalagi di Irak. Akan tetapi, kehausan modal memungkinkan perang itu. Modal sebagai tujuan dan modal sebagai alat dalam bentuk teknologi perang, membuyarkan semua paham tentang garis demarkasi.

Ketika Belanda memajukan konsep pertahanan Hindia, ide itu diterima dengan penuh perasaan sinis oleh pihak nasionalis. Hindia mana yang harus dipertahankan, Hindia milik siapa yang harus dipertahankan dan terhadap siapa Hindia itu harus dipertahankan. Ketika dipertanyakan Hindia milik siapa, sebetulnya unsur modal sudah masuk ke dalamnya, yaitu modal siapa, dan untuk kepentingan apa.

Untuk keperluan itu—hak milik dan pertahanan—perang dimaklumkan dan teori tentang perang dikembangkan. Salah satu teoretikus klasik terbesar ialah Carl von Clausewitz. Namun, perang baginya begitu mengerikan sehingga yang terbaik adalah tidak pernah boleh ada perang.

Yang dimaksud adalah perang murni, semacam der Krieg-an-sich, di mana terjadi pemakaian kekerasan sehabis-habisnya karena keluar dari maksud penuh perseteruan dengan tujuan menghancurkan musuh. Karena itu, bagi von Clausewitz tidak ada gunanya membedakan perang bangsa-bangsa berbudaya yang lebih rasional karena menggunakan akal dan “perang bangsa biadab” yang hanya menggunakan nafsu. Dua-duanya sama mengerikan dan dalam arti tertentu sama biadabnya