Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Kembali ke Roma

Harry Wibowo

April 1968 Club of Rome sebuah organisasi informal yang beranggotakan tokoh-tokoh internasional dari berbagai negeri yang diprakarsai Doktor Aurelio Peccei membahas keadaan dan masa depan umat manusia. Tujuannya untuk menggalang dan menggalakkan pengertian yang sama tentang saling keterkaitan berbagai soal dunia, menarik perhatian khalayak umum terhadap masalah kemanusiaan yang sangat kompleks dan mendesak, serta merangsang prakarsa dan mengambil berbagai langkah untuk mengatasinya.

Pertemuan berkala yang diadakan oleh Club of Rome berfokus pada proyek kajian mengenai umat manusia, seperti kemiskinan, merosotnya kualitas lingkungan hidup, hilangnya kepercayaan kelembagaan era Perang Dingin, soal inflasi, dan sebagainya. Masalah dunia yang menjadi fokus organisasi tersebut saling berkait dan berinteraksi dalam dimensi politik, ekonomi, dan sosial.

Persis setengah abad silam, mereka menerbitkan sebuah laporan legendaris bertajuk The Limits of Growth (1972); tonggak bagi kesadaran baru mengenai batas-batas daya dukung bumi. Bumi yang kita huni tidak lagi mencukupi. Laporan terkini Global Footprint Network menyebutkan bahwa sistem ekonomi global mengonsumsi 60 persen melampaui yang dapat direproduksi planet bumi. Umat manusia telah melampaui batas kemampuan bumi, bahkan mengubah ekologi bumi sehingga berdampak pada perubahan lapisan geologis yang oleh para ahli dan masyarakat geologi dianggap sebagai zaman Anthropocene.

Belum ada kesepakatan bulat soal kapan masa Anthropocene dimulai, namun berdasarkan buktibukti perubahan atmosfer dan biosfer, sejumlah ilmuwan mengusulkannya dimulai saat Revolusi Industri akhir abad ke-18. Kelompok ilmuwan lainnya mengaitkan istilah baru tersebut lebih lampau, saat kemunculan pertanian dan Revolusi Neolitik (sekitar 12.000 tahun sebelum Masehi) atau 14.000-15.000 tahun sebelum Masehi berdasarkan bukti-bukti liosfer.

Dampak kegiatan manusia terhadap perubahan bumi secara besar-besaran seperti meningkatnya pengaruh terhadap tata guna lahan, ekosistem, keanekaragaman hayati, bahkan kepunahan spesies memang masih kontroversial. Namun, memasuki milenium baru, kita semua yang hidup di abad ke-21 merasakan langsung dampak yang kita sebut sebagai perubahan iklim, kenaikan berkelanjutan sekitar 1 derajat celcius suhu bumi tanpa tindakan sistematis bersama dan terencana bagi pencegahannya bakal mengancam masa depan kelangsungan hidup umat manusia.

Pada titik krisis lingkungan hidup tersebut sepatutnya kita menyadari dua hal pokok.

Pertama, krisis ekologi sejatinya merupakan konsepsi tradisional tentang masalah dan tantangan lingkungan hidup, yang ironisnya secara tersirat justru memisahkan antara kita, umat manusia dengan lingkungan hidup, biosfer yang menyediakan ruang dan sumber daya lingkungan bagi kita untuk berkembang. Penggambaran tentang umat manusia di atas siklus material dan energi yang mengintegrasikan biosfer dengan kegiatan manusia seperti tercatat dalam kala Antropocene (ekstraksi, produksi, dan konsumsi) merupakan watak dasar modernitas: kemanusiaan yang akhirnya terbebas dari batas-batas biofisik berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (peniruan lingkungan alam); basis aktivitas ekonomi manusia yang kita sebut: industri demi ideologi kemajuan dan kesejahteraan manusia.

Kedua, keyakinan yang terus meluas dari warisan Club of Rome tentang batas-batas daya dukung bumi dan koreksi terhadap pertumbuhan (ekonomi) linier seperti “degrowth” dan krisis iklim telah membangkitkan yang kita kenal sekarang sebagai kredo resmi badan-badan internasional dan negara sebagai “pembangunan berkelanjutan.” Salah satu wujud teknokratisnya, ia dikonseptualkan menjadi ekonomi dan model bisnis sirkular; sistem alternatif terhadap pertumbuhan linier. Sebuah sistem regeneratif berbasis pada “hukum entropi” (kekekalan energi) yang digembar-gemborkan para pendukungnya sebagai: “sistem ekonomi dengan input sumber daya dan limbah, emisi, serta kebocoran energi diminimalkan untuk memperlambat, menutup, dan mempersempit loop material dan energi berkat rancangan, pemeliharaan, perbaikan, penggunaaan dan pengolahan kembali, serta proses daur ulang yang tahan lama.” Dalam kampanye limbah dan sampah sehari-hari kita mengenalnya sebagai 3R (reduce, reuse, recycle).

Di atas dua soal dan alternatif menghadapi krisis lingkungan yang tampak solutif bagi masa depan umat manusia, penting bagi kita untuk mengingat kembali; krisis (crisis) berasal dari bahasa Yunani kriecen, yang bukan hanya berarti masa sulit, berbahaya, namun juga berarti sebuah penilaian, judgment, untuk memisahkan, memutus sesuatu; dengan masa lalu bagi masa depan. Bukan masa depan kita, tapi pelestarian bumi dan dunia yang aman bagi anak-cucu kita.