Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Musik, Politik, dan Demokrasi

Harry Wibowo

Hubungan antara musik dan politik, termasuk demokrasi, bersifat kompleks dan beragam. Walaupun demikian, sebagaimana karya seni lainnya, terlepas dari jenis atau genrenya, secara umum musik memiliki beberapa aspek dan posisi tertentu dalam kehidupan sosial politik.

Pertama, ia adalah sarana bagi para artis, musisi bahkan khalayak umum untuk menggali, mengartikulasi, mengungkap pikiran, perasaan, situasi individu maupun kolektif, merekam lingkungan alam maupun dunia buatan, dan menghadirkannya dalam wujud keindahan. Tentu saja, ketika semakin mengindustri, menjadi komoditas, musik membentuk selera sehingga melalui pasar dapat dikonsumsi oleh lebih banyak orang, yang juga bergantung pada konteks sosial-budaya dan posisi kelas tertentu.

Dalam masyarakat demokratis yang plural, watak universal musik sebagai “seni menyelaraskan nada dan rasa” juga dapat menjadi ruang untuk mengungkapkan keragaman dan pluralitas. Berbagai budaya, latar belakang, dan pandangan politik dapat berpadu menciptakan apresiasi dan saling menghormati. Ringkasnya, musik dapat dipandang sebagai cermin dari kehidupan sosial-politik sebuah masyarakat.

Kedua, musik sering digunakan sebagai alat ekspresi politik dan sebagai sarana yang sering kali ampuh untuk menyampaikan pesan- pesan politik kepada publik yang lebih luas, bahkan dapat digunakan sebagai media komunikasi bagi protes dan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter atau tidak demokratis.

Dalam sejarah musik, banyak lagu-lagu protes telah diciptakan dan digunakan untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah yang otoriter, memperjuangkan kebebasan berbicara, atau menuntut hak asasi manusia. Sebagai sarana komunikasi, musik juga dapat digunakan sebagai alat untuk memobilisasi massa dalam proses politik demokratis, bahkan memperkuat nilai-nilai demokratik.

Dalam kampanye politik, misalnya, musik sering digunakan untuk membangkitkan semangat, menginspirasi, dan mempersatukan pendukung. Musik juga dapat menciptakan ikatan emosional yang kuat antara pemimpin politik dan pemilihnya.

Namun, di samping sisi musik “sebagai cermin budaya” dan “sebagai sarana komunikasi,” perlu diingat bahwa hubungan antara musik dan demokrasi tidak selalu sejalan. Musik dapat digunakan sebagai alat propaganda oleh pemerintah otoriter untuk memperkuat kekuasaan. Selain itu, musik juga dapat menjadi sumber konflik politik jika digunakan untuk menebar pesan-pesan yang memecahbelah atau merendahkan kelompok lain.

Jika kita menerima aspek, ciri, dan peran musik yang mengacu pada bagaimana musik digunakan atau berperan dalam konteks demokrasi tersebut, sebuah persoalan masih tersisa, yakni bagaimana “demokrasi di dalam musik”? Bentangan sosial itu mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi yang tecermin dalam proses kreatif dan kolaboratif dalam menciptakan dan mengapresiasi suatu karya musik, baik secara individual maupun kolektif.