Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Presidensialisme, Otoritarianisme, dan Demokrasi

Daniel Dhakidae

Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan secara sengaja yang mengancam terhadap diri sendiri, orang lain, ataupun sekelompok komunitas yang mengakibatkan cidera, trauma, kematian, gangguan psikologis, gangguan perkembangan fisik, dan perampasan hak, demikian definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Muncul pertanyaan adakah bangsa yang sejak awal sudah bisa dibayangkan akan menjadi bangsa penganut kekerasan? Dijawab secara positif, hampir bisa diduga di dalamnya ada unsur racial prejudice. Demikian pula agama, selalu ada unsur sacrilegial di dalamnya.

Perlu juga dikatakan mengenai kenyataan sederhana bahwa binatang tidak menganut kekerasan. Binatang ganas dan garang, tetapi tidak melakukan kekerasan karena intentionality dalam bentuk rencana, taktik, dan strategi untuk mencapai tujuan tidak ada pada binatang. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk menjadi pelaku kekerasan.

Agak sedikit berbeda ketika pertanyaan diarahkan ke bidang lain, seperti pemerintahan. Adakah bentuk/model pemerintahan yang dengan sendirinya atau dari dalam dirinya cenderung menuju otoritarianisme? Pertanyaan itu diajukan karena presidensialisme khusus bangsa ini terlibat jauh-jauh dalam kekerasan. Bermula dengan pelanggaran, violation, terhadap konstitusi Demokrasi Terpimpin yang berakhir dengan kekerasan dan ini menjadi awal Orde Baru dalam bentuk pembunuhan ratusan ribu orang yang dituduh komunis/ PKI. Pada gilirannya, Orde Baru pun berakhir dengan kekerasan sosial-politik dan lain-lain menuju kerusakan multi-dimensional.

Dengan demikian, kekerasan dan otoritarianisme boleh dibilang kawan seiring. Walaupun otoritarianisme tidak sama dengan kekerasan, namun kekerasan sangat mungkin diambil menjadi jalan untuk menunjukkan keberadaan sebuah pemerintahan otoriter dengan alasan sangat sederhana, yakni otoritarianisme tanpa kekerasan adalah suatu oxymoron.

Semua itu tentu terkait erat dengan bagaimana memakai otoritas. Namun, otoritas tidak dengan sendirinya berhubungan langsung dengan kekerasan, karena otoritas yang dikerjakan dengan sewajarnya akan menjadi sangat produktif. Dengan demikian, ada semacam ketegangan antara otoritas dan produktivitas atau ketiadaannya. Karena itu, pertanyaan kapan sebuah otoritas berkembang sedemikian rupa menjadi bentuk kekerasan adalah dan menjadi sumber studi tidak berkesudahan, baik secara teoretis maupun dalam praktik politik sehari-hari.

Hanya otoritas yang dalam kiprahnya sangat terbuka dan cenderung pada pelanggaran dan pengrusakan akan bermetamorfosis menjadi kekerasan. Karena itu, ada semacam paradigma authority, violation, and violence sebagai sisi lain dari kemajuan dan pembangunan. Namun demikian, memperkosa otoritas selalu berarti bahwa pada gilirannya otoritas itu sendiri yang akan rusak. Violence adalah bentuk rusak dari otoritas. Sebaliknya, otoritas yang produktif memberikan kehidupan atau setidaknya merangsang hidup yang akan berkembang dengan sendirinya dalam progress and development.

Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, yang kelak disebut sebagai “Hari Lahir Pancasila”, Soekarno menolak monarki dengan alasan pokok berlakunya otoritas/kekuasaan itu secara turun-temurun; darah bukan kegiatan politik dan keturunan bukan pencapaian yang menentukan keputusan tentang siapa pemegang otoritas. Hal tersebut sangat mudah mengarah pada violation, penyalahgunaan, karena otoritas berlangsung tanpa kontrol. Karena itu, pilihan jatuh pada republik dengan asumsi utama di baliknya, yaitu para penguasanya adalah hasil pemilihan (umum). Di situ, demokrasi mendapat sebuah pengertian khusus sebagai kontrol publik terhadap kekuasaan. Di sisi lain, demokrasi selalu dianggap bisa menjauhi diri dari kekerasan. Kendati semuanya lebih merupakan wishful thinking daripada kenyataan, tetapi sekurang-kurangnya prinsip itu ingin ditegakkan.

Atas nama demokrasi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menangkap ratusan ribu orang, ribuan hakim, jaksa, dan guru, hanya karena mereka adalah representasi musuh. Dengan demikian, kekerasan di sini terjadi bila lawan politik dianggap musuh. Lawan dan musuh sungguh berbeda: lawan adalah pihak yang harus dikalahkan sedangkan musuh adalah pihak yang harus dibunuh. Politik kekuasaan mengenal keduanya, namun politik kekuasaan yang rusak hanya mengenal musuh dan bukan lawan. Presidensialisme Orde Baru dan Adalet ve Kalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP) Erdogan sama dalam satu hal, yakni semua lawan dianggap musuh yang harus dihancurkan.

Demokrasi berusaha untuk menciptakan lawan setara karena lawan memang diperlukan untuk menguji kualitas dan hanya untuk dikalahkan, bukan dibinasakan.