Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Regulator yang Efisien atau Agama sebagai Alternatif Pasar

Fachru Nofrian Bakarudin

Indonesia sedang mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi di dunia. Bukan perubahan minor dan juga bukan peru- bahan mayor, apalagi bersifat struktural yang berdampak pada rezim pertumbuhan dan indus- trialisasi. Apa pun perubahannya, tingkat per- tumbuhan ekonomi bergeming di angka lima persen. Salah satu ciri perubahan ditandai pem- bangunan fisik yang terbatas di bidang infra- struktur mulai dari jalan raya, pelabuhan laut, hingga bandara. Pembangunan fisik memang penting, terasa langsung, serta kasat mata, yang tampak dari Sabang sampai Merauke dan mem- beri banyak manfaat ekonomi. Sayangnya, bagi ilmu ekonomi yang merupakan ilmu sosial em- piris dan kerap menekankan verifikasi serta hasil konkret, pembangunan yang terjadi dapat dika- takan fisikal-pragmatis dan bukan fisikal-riil, sehingga kurang berdampak pada pasar dan justru meningkatkan ketimpangan dan tidak tercapainya industrialisasi. Hal tersebut memper- lihatkan bahwa pasar tidak bisa melembagakan dirinya sendiri, meski sudah ada pembangunan infrastruktur. Sejarah moneter dan produksi, misalnya, menjelaskan bahwa pasar merupakan proses pelembagaan tempat ekonomi-politik memiliki peran signifikan dan tidak terbatas hanya pada negara dan kelembagaannya.

Pelembagaan dapat dipilah dua. Pertama, sebagai pengembangan ekonomi pasar standar yang melihat pasar memiliki keterbatasan, se- hingga institusi di luar ekonomi diperlukan agar lebih efisien, sebagaimana disampaikan oleh pendekatan neo-institusional. Kedua, ekonomi pasar non-standar memandang pasar hanya sebagai salah satu institusi di dalam kapitalisme dan menganggap kapitalisme bukan hanya pa- sar. Pada yang pertama, pasar merupakan tem- pat ditemukannya efisiensi. Pada yang kedua, institusi dipandang sebagai proses yang tidak selamanya efisien. Ekonomi non-standar mem- bagi institusi menjadi aturan konstitusional, prosedur, organisasi, rutinitas, kesepakatan, hie- rarki, dan kesadaran. Komposisi institusi terse- but saling terkait, misalnya, aturan konstitu- sional menentukan prosedur yang kemudian menentukan organisasi dan seterusnya. Begitu pula kesadaran yang dapat menentukan hie- rarki, kesepakatan, aturan konstitusional, dan sebagainya.

Dalam perspektif itu, “radikalisme Islam” di Indonesia dipandang sebagai sinyal penguatan institusi agama yang mungkin saja berbenturan dengan institusi lainnya, seperti negara, sehing- ga memerlukan kompromi institusional. Pe- nguatan tersebut juga merupakan pesan kepada pasar yang selama ini dinilai tidak efisien. Beberapa industri di dalam institusi agama seo- lah memberikan sinyal tentang kesiapannya mengganti pasar yang tidak efisien itu. Terlepas dari kompromi tersebut, ditemukan persoalan ekonomi yang sesungguhnya merupakan per- soalan sebenarnya, yaitu pengabaian terhadap industrialisasi dan adanya ketimpangan. Seti- daknya, institusi agama dapat menjadi pengi- ngat kepada pasar dan pelakunya untuk beru- bah di masa depan.

Agama, Institusi Agama, dan Negara
Sudah banyak tulisan yang membahas tentang agama, meski secara ekonomi-politik mungkin dapat dikatakan belum ada yang mengukur seberapa jauh peran agama digamblangkan se- cara ekonomi. Max Weber telah memperlihat- kan bahwa efisiensi birokrasi dapat menjadi sumber pertumbuhan menggantikan pasar. Pierre Bourdieu pun pernah membahas struk- tur sosial, termasuk agama, di dalam institusi ekonomi dan struktur ekonomi dalam institusi agama. Agama tentu berbeda dengan etika (moral) yang rasional. Agama juga berbeda dari spiritualitas yang universal. Yang dilakukan Weber, Bourdieu, dan ekonomi non-standar memperlihatkan agama sebagai institusi tempat urusan horizontal berbeda dengan urusan ver- tikal, sehingga institusi agama tidak disama- dengankan agama. Pandangan itu sejalan de- ngan seruan yang disampaikan dalam pelbagai ceramah keagamaan bahwa urusan dengan Tuhan bersifat vertikal, sedangkan dengan sesa- ma manusia bersifat horizontal. Membawa yang vertikal kepada yang horizontal hanya akan mengakibatkan konflik semesta tiada berujung. Negara merupakan institusi sosial “ter- tinggi” yang mengatur keadaan, penciptaan, keberlanjutan, dan kehancuran berbagai bentuk institusi. Negara juga menjadi tempat berte- munya segala bentuk komposisi institusi— aturan konstitusional, organisasi, rutinitas, kesepakatan, hierarki, dan kesadaran. Selain itu, negara menjadi tempat berkumpulnya segala bentuk kepentingan, kewajiban, koor- dinasi, distribusi, dan jaringan. Dengan segala bentuk institusi yang ada di dalam negara, maka dapat dikatakan negara adalah sebuah bentuk institusi yang bukan hanya mengukur ritme institusi di dalamnya, tetapi juga ditentukan oleh berbagai bentuk institusi tersebut. Setiap negara memiliki karakteristik yang semuanya berada dalam satu keteraturan. Namun, sebagai pengatur, ia juga bisa diatur pasar dan institusi agama sebagaimana yang terjadi di negara lain. Misalnya, Amerika Serikat ditentukan oleh pasar dan Iran yang ditentukan oleh agama. Bagaimana dengan di Indonesia?

Aturan konstitusional kita sudah sejak lama akomodatif terhadap semua golongan dan aga- ma. Bila ditarik ke belakang, agama (Islam) memiliki andil besar dalam pembentukan ne- gara Republik Indonesia. Sebagai hasil kom- promi institusional, misalnya, penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pancasila. Solusi terhadap konflik saat itu sering terjadi. Namun demikian, itu pun tidak lantas mampu meredam konflik institusional dengan, misal- nya, kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indo- nesia dan kelompok-kelompok lainnya. Pada periode itu, politik Nasakom menunjukkan stra- tegi yang cukup tepat untuk menstrukturkan interaksi organisasi yang ada saat itu, baik dalam partai politik berhaluan agama dan nasio- nalisme maupun komunisme. Solusi tanpa me- ngorbankan salah satu pihak merupakan kese- imbangan yang ingin dicapai sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal sebelumnya. Selain parpol, yang juga berkembang adalah organisa- si keagamaan seperti Masyumi, Muhammadiyah, NU, Mathla’ul Anwar, dan sebagainya. Mereka tidak hanya memunculkan tokoh-tokoh karis- matik, tetapi juga berbagai kegiatan keagamaan yang disebar dan dipatuhi secara kolektif dan individual. Di sana ada semacam relasi antara individu anggota dan individu tokoh. Kita dapat melihat dengan jelas hubungan antara aturan.