Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi

Urgensi Ekonomi Islam

Fachru Nofrian Bakarudin

Dewasa ini, ekonomi Islam yang sering disebut “ekonomi syariah” tampak kian berkembang di Indonesia. Tidak sulit untuk mengidentifikasi ekonomi yang mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip syariah bersumber dari ajaran dan agama Islam, yang secara keseluruhan dikenal dengan istilah halal. Secara sederhana, semua yang dianggap halal dapat dikategorikan sebagai ekonomi Islam. Yang halal adalah barang dan jasa yang diperjualbelikan. Untuk menjelaskannya, barang dan jasa tersebut dibedakan antara yang halal dan yang haram. Yang halal pastilah bukan yang haram. Itu merupakan konsep utama ekonomi Islam. Dari soal yang sangat sederhana, bila dikembangkan menjadi cukup rumit karena mencakup proses pembuatannya sehingga tidak mudah untuk menentukan kehalalannya. Karena itu, suatu barang atau jasa terkait dengan barang dan jasa lainnya yang menjadi sumber bahan baku produksi sehingga dapat dibayangkan merupakan suatu rangkaian proses produksi. Dalam kaitan itu, ekonomi Islam ternyata memerlukan tidak hanya barang dan jasa pada satu jenis tertentu saja, melainkan mencakup seluruh proses produksi barang tersebut.

Konsep kedua terkait ekonomi Islam mencakup tentang uang dan keuangan. Ekonomi Islam menganggap bunga atau imbalan bersifat haram, bukan halal, dengan berbagai pertimbangan. Salah satu mengapa bunga atau riba bersifat haram karena dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang benefit- nya. Suku bunga dimaksud terkait dengan pinjaman uang yang meliputi sektor perbankan. Untuk itu, ekonomi Islam mengembangkan sistem perbankan yang berbeda mulai dari konsep hingga operasionalisasinya dengan industri perbankan konvensional yang menganut sistem bunga. Konsep utama yang diadopsi adalah sistem bagi hasil. Dalam industri perbankan konvensional, penentuan berdasarkan jumlah modal dan berorientasi selalu untung tanpa mempertimbangkan kemungkinan pembagian rugi. Pada sistem bagi hasil, penentuan berdasarkan rasio dengan mempertimbangkan keuntungan serta kemungkinan rugi. Semakin laba meningkat, pembagian juga akan mengalami peningkatan.

Penjelasan singkat di atas memberikan gambaran umum terkait ekonomi Islam yang masih mempertimbangkan bahwa setiap manusia memiliki berbagai dimensi. Tidak hanya dimensi egoisme, tetapi juga altruisme karena prinsip berbagi. Manusia tidak hanya makhluk yang suka mengambil, tetapi juga senang memberi. Ekonomi Islam juga membuktikan bahwa postulat berbagi tersebut memiliki metode, yaitu metode bagi hasil bersifat operasional, misalnya, zakat, infak, dan sedekah. Mungkin hal itu dapat dikatakan sebagai salah satu pilar lainnya dalam ekonomi syariah, selain halal dan bagi hasil. Sebagaimana ekonomi lazimnya, ketiga pilar ekonomi syariah tersebut memerlukan kelembagaan, misalnya, terkait dengan sertifikasi halal, lembaga keuangan syariah, dan lembaga non-keuangan syariah yang “bertugas” menjalankan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf).

***

Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya praktik kelembagaan ekonomi Islam tersebut?

Sampai sekarang, praktik kelembagaan ekonomi Islam dilakukan terutama oleh orang Islam itu sendiri yang juga disebut umat. Seiring dengan praktik rukun Islam, di dalamnya tentu termasuk praktik ekonomi Islam oleh umat Islam itu sendiri. Dari praktik tersebut, berkembang lembaga lainnya seperti lembaga yang mengatur halal, keuangan, dan Ziswaf. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga yang sebelumnya mengatur penentuan halal atau haram suatu produk atau jenis usaha tertentu. Oleh peraturan perundangan, otoritas kelembagaan tersebut diambil alih negara (c.q pemerintah) dan berada di bawah Kementerian Agama. Yang pertama adalah lembaga masyarakat (umat), sedangkan yang kedua merupakan eksekutif negara. Ada beberapa alasan mengapa terjadi pergeseran kelembagaan seperti itu. Pertama, adanya perkembangan politik terkini yang menentukan terjadinya pergeseran tersebut. Dalam hal itu, politik yang dimaksud adalah keseimbangan antara berbagai kepentingan kelompok atau individu. Seiring dengan proses tarik-menarik tersebut, faktor ekonomi menjadi alasan kedua, yaitu MUI seperti dianggap kurang tepat untuk menarik pendapatan dari tindakan kolektif sertifikat kehalalan tersebut.

Begitu pula dengan lembaga keuangan ekonomi Islam yang lebih dikenal dengan bank-bank Islam. Sebagaimana diketahui, lembaga-lembaga itu ada beberapa di Indonesia di antaranya Bank Mandiri Syariah, Bank Negara Indonesia Syariah, Bank Rakyat Indonesia Syariah dan Bank Jasa Arta untuk menyerap nasabah dengan latar belakang Islam (umat). Dalam perkembangannya, bank-bank tersebut melebur menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) sehingga menjadi jauh lebih besar, baik dari sisi aset maupun dari sisi industri keuangan syariah. Penggabungan itu menyatukan kelebihan dari ketiga bank syariah sehingga menghadirkan layanan yang lebih lengkap, jangkauan lebih luas, serta memiliki kapasitas permodalan yang lebih baik.

Semakin besar diharapkan menjadi lebih kuat terutama dalam menghadapi tantangan kekinian, global, dan pemenuhan kebutuhan umat. Selain bank tersebut, bank lainnya adalah Bank Muamalat Indonesia dan bank lain yang merupakan entitas swasta. Dengan demikian, itu menjadi semakin menarik karena memperlihatkan persaingan antarbank syariah dalam rangka memperoleh surplus dari konsumen.

Lembaga lainnya adalah lembaga yang mengatur tentang Ziswaf dan biasanya diatur oleh masjid. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Islam yang dilakukan oleh umat tidak terlepas dengan tempat ibadah, termasuk di dalamnya masjid. Lembaga yang menerima dan menyalurkan zakat, misalnya, lembaga amil masjid. Sebagaimana diketahui, lembaga itu lebih banyak hanya menerima dan menyalurkan. Lebih jauh lagi, ada juga lembaga Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang bersifat nasional dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sejauh ini diketahui, penyaluran dan peruntukan dana-dana tersebut diutamakan terhadap yang memerlukan sebagaimana diatur seperti orang miskin, anak telantar, yatim-piatu, dan sebagainya. Dalam praktiknya, penyaluran dana tersebut juga mencakup pembangunan sumber daya manusia.

Ketiga pilar tersebut—halal, bagihasil, dan Ziswaf—tentu dapat lebih dikembangkan lagi. Misalnya, pemerintah sekarang mengembangkan industri halal termasuk di dalamnya tidak hanya makanan dan minuman, tetapi juga hotel atau pariwisata halal dan bahkan lebih dari itu adalah pelestarian lingkungan yang juga dianggap bagian dari kehalalan dan juga kebersihan. Tentu itu merupakan berita baik bagi masyarakat dan ekonomi umat dan bahkan umat lainnya. Itu memperlihatkan keterbukaan dan rahmat yang tidak terbatas terhadap umat. Begitu pula dengan beberapa lembaga keuangan yang dapat dikembangkan lagi menjadi lembaga asuransi syariah sehingga menjadi lembaga keuangan dan asuransi syariah tersendiri. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan, Ziswaf juga dikembangkan untuk penyaluran dana bersifat kemanusiaan dan bahkan internasional yang memperlihatkan dimensi ekonomi global dalam ekonomi Islam, termasuk membantu korban perang, pascakrisis, dan pemulihan pasca-pandemi Covid-19.

***

Dalam menjalankan prinsipnya, ada sembilan akad, yaitu wadi’ah atau kesepakatan (penitipan barang atau uang), mudharabah atau perjanjian kerja sama jika untung dibagi sedangkan jika rugi ditanggung pemilik harta. Akad berikutnya adalah musyarakah, yaitu perjanjian kerja sama yang juga meliputi pembagian kerugian sesuai proporsi modal. Akad lainnya adalah murabahah yang digunakan dalam perdagangan dengan menjual di atas harga beli dan ditambah sedikit keuntungan. Antara pemberi modal dan pedagang melakukan perjanjian kerja sama dan berbagai keuntungan dari penjualan tersebut. Yang berikutnya adalah salam, yaitu jual-beli melalui order dan bersifat tidak bertemu langsung yang dapat dikembangkan menjadi akad istina’. Akad-akad lainnya adalah ijarah (akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang ini sendiri), al-ijarah muntahiyah bit tamlik (sejenis perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang berada di tangan si penyewa), dan qardh (akad pinjaman yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama pada waktu yang telah disepakati). Dengan demikian, ekonomi Islam mengatur mata rantai produksi dan konsumsi, mulai dari sektor perdagangan, industri dan keuangan, hingga pariwisata sehingga dapat dikatakan cukup komprehensif. Semua itu berpegang pada ayat dan hadis serta praktik sosial masyarakat yang dianggap wajar atau universal.

Persoalannya, bagaimana ekonomi Islam menanggapi tantangan ekonomi saat ini serta menjawab persoalan ketimpangan dan keadilan sosial?

Data memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Indonesia lebih dari 275 juta orang dengan tingkat kepadatan sebesar 143/km2. Dari jumlah tersebut, 86,75 persen adalah muslim. Komposisi demikian menjelaskan Indonesia sebagai negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia. Namun, dengan jumlah penduduk sebanyak itu, tingkat pertumbuhan Indonesia bergeming pada kisaran 5 persen dengan jumlah penduduk miskin relatif besar. Dengan kata lain, ketimpangan di Indonesia masih cukup besar dan kian melebar di setiap periode. Sebagaimana diketahui, ketimpangan merupakan salah satu persoalan ekonomi saat ini karena diperkirakan tingkat kesenjangan pendapatan dan kekayaan makin mendalam. Data memperlihatkan adanya kenaikan Koefisien Gini dari sebesar 29.5 pada 2000 menjadi 37.9 pada 2021.

Sebagaimana telah dipaparkan, ekonomi Islam sangat erat berkait dengan masalah ketimpangan, karena salah dua tujuannya berupa pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat. Sayangnya, apa yang terjadi tampak masih jauh dari harapan. Setidaknya ada tiga masalah terkait hal itu.

Pertama, ekonomi Islam masih sibuk memikirkan seberapa halal suatu produk sehingga cenderung mengabaikan hal lainnya yang bisa jadi lebih diperlukan untuk kewirausahaan. Halal memang merupakan sesuatu yang penting. Misalnya, produk pisang dan olahan buah ini oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia tentu dapat dianggap halal dan tidak perlu mempertanyakan apakah pohon pisang yang ditanam dengan mengucap bismillah.

 

Kedua, lembaga keuangan Islam belum berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sarana redistribusi pendapatan bahkan kekayaan. Dana yang cukup besar belum sepenuhnya dapat dikelola secara cukup transparan dan berorientasi pada pengembangan industrialisasi.

Ketiga, entitas bisnis Islam bersama dengan pemerintah belum sepenuhnya dapat memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis yang ada baik di dalam negeri maupun internasional. Banyak kesempatan besar dalam berbagai kegiatan internasional, seperti pada ajang Piala Dunia, belum dapat dimanfaatkan termasuk oleh produk ekonomi Islam.

Tentu ada beberapa penjelasan, misalnya, belum ada strategi peningkatan daya saing sehingga belum memenuhi standar internasional. Bagi lembagalembaga keuangan, penyaluran dana belum tertuju pada sektor-sektor yang dapat menggairahkan industrialisasi. Bagi lembaga seperti Ziswaf, penyaluran bagi yang membutuhkan masih belum bersifat produktif.